SAUDARAKU, kita tak jarang mengalami betapa kita terjebak untuk
bersikap mutlak-mutlakan ditengah perbedaan pendapat. Ini karena kita
amat possesif terhadap pemilikan kita atas pengertian-pengertian kita
sendiri. Bagai seorang perawan yang tak mau secuil pun lelaki pujaannya
dijelek-jelekkan oleh orang lain. Kita begitu romatik, karena memang
pada dasarnya kita begitu mencintai dan
bahagia dengan Islam kita. Begitu rupa romantiknya sehingga dalam
beberapa hal kita menjadi buta. Kita jadi cepat tersinggung, cepat
mangkel, cepat berang dan naik pitam jika sedikit saja hal tentang
‘pacar’ kita itu disentuh orang. Secara rasional kita menjadi tidak
objektif. Dan secara spiritual-psikologis kita menjadi tidak dewasa,
tidak rendah hati. Keduanya bergabung dan menghasilkan suatu sikap yang
tak menyiapkan untuk membuka diri dan menerima kemungkinan-kemungkinan
kebenaran baru atas diri kita.
Dalam keadaan begitu kita tanpa
sadar, sering melangkahi peringatan Allah, ijtanibuu katsiiron minazh
zhonni, inna ba’dhodh zhonni istmun, walaa tajassasuu walaa yaghtab
ba’dhukum ba’dhoo. Kita sering cepat berburuk sangka, cepat cenderung
mencari hanya kesalahan-kesalahan saudara kita ynag lain. Bahkan ada
prototype mentalitas kita yang kurang biasa berbeda dalam berhadapan
ini, mendorong kita mengungkapkan perbedaan itu dengan cara ‘yaghtab
ba’dhukum ba’dhoo’. Dengan begitu akan gampang terjerumus pula kita
untuk tergolong dalam kata-kata Allah ‘yashkor qoumun minqoumin’,
sedangkan bisa-bisa saja kaum yang dicerca itu yakuunuu khoiron minhum.
Lebih ‘lucu’ lagi, Saudaraku, didalam saling mencerca itu,
masing-masing kita merasa benar, dan sungguh-sungguh dengan khusyu’
menyandarkan kebenaran masing-masing itu ke hadirat Allah, sehingga
masing-masing meras innalloha ma’anna. Tidakkah, Saudaraku, engkau
pernah menangkap dan merasakan getaran keadaan yang seperti itu ditengah
perselisihan faham diantara kita semua? Bahkan ada Saudara kita yang
dalam keadaan itu lantas saling mengemukakan kata-kata seperti yang
diungkapkan Al Qur’an: …i’maluu ‘alaa makaanatikum innii ‘aamil,
wantadhiru inni muntazhirun…, atau …lanaa a’malunaa wa lakum a’maalukum,
salamun ‘alaikum laa nabtaghil-jaahilin… atau fanistakbaruu
fal-ladziina ‘inda robbika yusabbihuuna bil lili wan-nahaari wa hum laa
yas-amuun…, bahkan …idz ja’alalladziina kafaruu fii
qulubihimul-hamiyyata hamiyyatal-jaahiliyati fa-anzalallahu sakinatahu
‘alaa rosuulihi wa ‘alal mukminina wa alzamahum kalimatat-taqwa.
Tentu saja, Saudaraku, itu benar. Dan mungkin saja memang diantara
beribu pikiran kita atau diantara sikap-sikap hidup kita terdapat unsur
kekufuran tertentu (seperti juga silau mata kita yang berlebihan
terhadap keduniawian dewasa ini bisa dianggap meng-ilah-kan yang selain
Allah); akan tetapi, tentu akan lebih afdhol, apabila kita mengusahakan
suatu keterbukaan dan kedewasaan komunikasi, justru untuk membuka kedok
kemungkina kekufuran pribadi kita masing-masing dan melenyapkannya.
Saudaraku mungkin pernah mendengar aku beberapa kali mengalami berbagai
perselisihan faham dengan berbagai kalangan Muslim dalam pentas-pentas
atau pembicaraan-pembicaraanku diberbagai tempat, dan aku gagal menemui
keinginanku akan keterbukaan dan kedewasaan komunikasi seperti itu. Aku
sering berkata kepada saudara-saudara kita: “Jika Saudaraku melihat aku
sesat, dan bersedia mengishlah membawaku kepada jalan yang benar, maka
alangkah besar rasa syukurku”. Namun, aku justru sering menghadapi
berbagai sikap tertutup seperti kuungkapkan diatas: sikap tertutup itu
bukan karena Islam, tetapi karena faktor mentalitas,
keterbatasan-keterbatasan psikologis. Sampai pada suatu saat aku berkata
kepada diriku sendiri: Kalau saja aku ini seorang muallaf, maka dengan
menghadapi sikap jumud seperti itu, tak mustahil aku terlempar kembali
ke luar Islam. Namun, Alhamdulillah, justru karena itu maka Allah
berkenan menganugerahiku tenaga untuk makin mencintai-Nya serta lebih
dalam meyelami samudera nilai Islam yang demikian luas dan dalam.
Saudaraku tahu mungkin kemusliman kita ini belum apa-apa dan sungguh
masih amat jauh dari yang dikehendaki Allah, karena itu betapa kita
semua harus senantiasa siap terbuka atas nilai-nilai kebenaran Islam
yang mungkin saja kemarin masih belum kita insyafi. Banyak hal kita
ketahui, namun jauh lebih banyak lagi yang belum kita ketahui. Allah
telah memaparkan segalanya, tapi barangkali mata kita masih cukup buta
dan telinga kita masih agak tuli. Segala yang ‘kita kuasai’ itu pastilah
sedzurroh saja dibanding realitas dan nilai yang sesungguhnya yang
disediakan oleh Allah Yang Maha Kaya.
Kita semua adalah
khalifah fil-ardh, tetapi engkau atau aku bukanlah satu-satunya
khalifah. Dan aku kira tidak benarlah apabila kita mempunyai sikap
seperti itu: seakan-akan kita adalah langsung mewakili Allah dimana
setiap orang musti sependapat dengan kita, betapapun secara subjektif
kita amat meyakini dan menganggap luhur keyakinan serta kebenaran
pikiran kita sendiri itu. Saudaraku Insya Allah sudah membaca buku
Dialog Sunnah Syi’ah: surat-menyurat antara ‘Kyai Sunnah’ asy-Syaikh
al-Bisri al-maliki dengan ‘Ulama Jumhur’ as-Sayyid Syarafuddin al-Musawi
al-‘Amili itu amat memberi informasi berharga kepada kita tentang
percaturan faham yang berbeda antara Sunnah yang mayoritas dan Syi’ah
yang minoritas. Akan tetapi yang tak kalah bermaknanya dibanding
informasi itu ialah bagamana cara dan watak mereka didalam berdialog.
Bagaimana keterbukaan sikap pribadi mereka, seberapa kematangan dan
kedewasaan yang menjadi ruh komunikasi antara mereka, betapa tawadhu’
dan rendah hati mereka, serta betapa besar gairah murni untuk
sungguh-sungguh mencari kebenaran: tanpa sikap defensif dalam arti
emosional, tanpa menonjolkan ‘gengsi’ atau ‘harga diri’ pada proporsi
yang tak wajar, atau tanpa etos ‘mempertahankan pendapat secara membabi-
buta’ seperti yang sering menjadi watak dari dialog-dialog moderen
dewasa ini, yang acapkali terkotak pada dimensi ‘intelektual’ belaka.
Semua perwatakan dialog itu tentu saja merupakan ‘dimensi tersembunyi’
dibalik formalitas informasi yang dipaparkan oleh buku tersebut.
Demikianlah, Saudaraku, kita yang masih faqir ini semoga dibimbing oleh
Allah untuk menumbuhkan kekayaan-kekayaan seperti itu. Kita Kaum
Muslimin Insya Allah akan menyongsong kemenangan, tetapi itu tak bisa
tidak harus dimulai dari kesediaan kita semua untuk memerangi berbagai
marodhun didalam diri kita sendiri. In dholaltu fainnamaa adhillu ‘alaa
nafsii, wa-inihtadaitu fabimaa yuuniya ilayya robbil innahu samii’un
qorlib.