widget animasi

translate

Indonesia Tak Butuh Iblis

DALAM kehidupan politik dan kebudayaan di Indonesia sering disebut-menyebut kata iblis, sebagaimana sering juga disebut-sebut kata setan, malaikat, tuhan, fir’aun, dajjal, atau hantu, monster, gendruwo, dsb.

Orang menyebut iblis atau setan biasanya tidak untuk menuding iblis atau setan itu sendiri, melainkan untuk memberi gelar kepada sesama manusia. Misalnya ada lima kategori manusia. Kategorisasi ini memakai idiom fiqih Agama, tapi tidak dimaksudkan debagai prinsip hukum, melainkan budaya.

Ada ‘‘manusia wajib’’, artinya orang yang orang lain tak mau kehilangan dia, karena dia baik dan dicintai.
Ada ‘‘manusia sunat’’, di mana orang merasa eman kalau nggak ada dia, meskipun tidak menggebu-gebu mempertahankannya.
Ada ‘‘manusia mubah’’ atau ‘‘manusia halal’’, yakni yang wujuduhu ka’adamihi, ada dia kita nggak untung, nggak ada dia kita nggak rugi.
Ada ‘‘manusia makruh’’, di mana orang merasa lebih baik nggak ada dia daripada direpoti olehnya.
Terakhir yang paling gawat: ‘‘manusia haram’’. Orang bersikeras agar dia tak ada, agar dia dijatuhkan dari kursinya, agar ia diadili dan dihukum, bahkan didoakan agar segera mati. Bahkan kalau ada orang mati, lainnya menyesal: “Kok bukan si Anu itu yang dipanggil Tuhan...”

Namun harus dicatat, ‘‘manusia wajib’’ di mata manusia, belum tentu sama di mata Allah. ‘‘Manusia haram’’ di pandangan manusia, belum pasti Tuhan berpandangan demikian.

Sesungguhnya sangat menarik untuk membicarakan iblis, lengkap dari perspektif ilmu fisika, biologi, teologi dan budaya. Misalnya bahwa suku cadang kemakhlukan kita ini sama dengan iblis, setan, malaikat, batu, dan apapun saja makhluk Tuhan. Hanya saja speed molekular-nya berbeda, komposisi dan aransemen keatomannya berbeda, sehingga karakter chromosome-nya juga lain, termasuk hak dan kewajiban yang diberikan oleh Penciptanya juga tak sama -- sehingga habitat dan perilaku, alias kebudayaan dan peradabannyapun berbeda. Yang paling menarik kali ini adalah bahwa ternyata kita di Indonesia sama sekali tidak butuh iblis....

Cobalah kita kuliti sejumlah perbedaan antara kita dengan iblis, umpamanya. Sebagaimana beda kita dengan binatang sangat jelas: kalau macan sudah makan kambing dan kenyang, maka ia bisa tidur damai dengan ratusan kambing, sampai ia lapar kembali dan memakan hanya seekor lagi seperti di-sunnah-kan olehNya.

Sementara kita, misalnya, meskipun sudah punya lima proyek besar, masih terus sanggup menyikat puluhan proyek lain. Manusia dipinjami kemerdekaan dan demokrasi, dan ia mengerjakannya belum tentu dengan kedewasaan dan nurani kemanusiaan, malah kebanyakan dengan nafsu dan unbounded posessiveness: rasa ingin memiliki yang tak ada batasnya. Tak ada puasnya!

Semoga rencana-rencana kekuasaan, melalui sekian banyak partai-partai politik, tidak bermuatan hal semacam itu. Kalau orang bertanya: partai politik itu ingin kebaikan atau kemenangan? Ataukah ingin kemenangan untuk memperjuangkan kebaikan? Kalau yang terasa dominan adalah napsu untuk menang, maka adanya muatan semacam itu sangat kita kawatirkan.

Semoga kemenangan partai apapun adalah kemenangan seluruh rakyat Indonesia. Kalau kemenangan partai adalah hanya kemenangan parpol itu sendiri, akan tetap celakalah nasib rakyat. Keserakahan, nafsu, rasa serba tak cukup, watak api -- itu jelas watak utama iblis yang diajarkan kepada manusia. Dan ajaran itu tidak hanya bisa merasuk ke jiwa Pak Harto misalnya, tapi juga bisa ke Wagimin, Megawati, SBY, Tukijo, Ical, Prabowo, organisasi dan kumpulan-kumpulan ormas, atau apapun. Bahkan niat baikpun bisa menjelma jadi nafsu.

Cukup banyak bukti bahwa di negeri ini kita tak memerlukan ajaran iblis lagi untuk ‘sekedar’ berlaku rakus kepada dunia. Sehingga, sebagaimana Adam melorot derajatnya dari sorga ke bumi, kitapun melorot izzah (kehormatan) kebangsaan kita dari kemewahan ke krismon dan kristal (krisis total). Kita kutuk penjarahan oleh rakyat sesudah sekian puluh tahun kita ajari mereka menjarah. Kita laknat kerusuhan oleh rakyat sementara terus menerus kita rusuhi hati mereka, pikiran mereka, telinga mereka, dengan kerusuhan mulut dan sistem budaya kita.

Iblis tidak pernah merasa dirinya benar, dirinya baik, dirinya suci. Sementara kita memiliki kecenderungan yang sangat besar untuk merasa benar, merasa baik dan merasa suci -- sehingga orang lain yang kita tuduh harus bertobat -- itupun kita larang ia bertobat. Padahal kita ketakutan setengah mati kalau ia tidak bertobat sehingga mengamuk.

Dalam hal melarang manusia bertobat, kita sama dengan iblis. Tapi dalam hal memahami konsep tobat, iblis lebih unggul dari kita. Kita tidak tahu bahwa pertobatan kepada Allah dipersyarati oleh keberesan masalah dengan sesama manusia. Artinya kalau punya hutang, harus bayar dulu; kalau bersalah, dihukum dulu oleh manusia, baru Allah membuka pintu ampunannya. Kita tidak tahu itu, sedang iblis tahu persis.

Iblis, sesudah menggoda manusia dan menjerumuskannya agar dibakar oleh kobaran api dari dalam nafsunya sendiri, berkata kepada Tuhan: “Wahai Tuhan, sesungguhnya aku sendiri takut kepadaMu...”.

Sementara pada kita sangat sedikit indikator bahwa kita takut kepada Tuhan. Kita berani mengabaikan pembelaan Tuhan atas rakyat kecil. Kita bisa mendustai mereka berpuluh tahun. Kita bahkan sanggup menyalurkan bantuan makanan kepada rakyat sambil mencopetnya. Kita tega mengumum-umumkan obsesi pribadi kita akan kekuasaan didepan rakyat yang sangat mengalami kesulitan hidup. Kita bisa dengan ringan menutup telinga bahwa bagi rakyat hanya tiga hal yang prinsip: hidup aman, sembako murah, bisa menyekolahkan anak.

Tentang presidennya siapa, silahkan mau Kirun mau Timbul ataupun Jokowi misalnya. Dalam hatinya rakyat berpedoman: yang penting bukan ‘siapa’nya, melainkan apa produk positifnya untuk kesejahteraan rakyat. Mohon bikin metodologi riset atau jajak pendapat yang bertanggung jawab terhadap kandungan substansial kemauan rakyat banyak, bukan hanya omongan beberapa puluh orang di sekitar kantor kita.

Iblis dan setan, sesombong-sombongnya mereka, setakabur-takaburnya mereka, seratus persen sadar bahwa mereka melakukan kejahatan dan perusakan. Mungkin karena itu tidak kepada iblis dan setan, melainkan kepada manusia, Tuhan memberi peringatan: “Janganlah engkau membuat kerusakan di muka bumi”, dan manusia menjawab dengan congkak: “O, tidak, yang kami lakukan ini adalah perbaikan...”
Kalau Tuhan menyebut “orang-orang yang membangun”, kita merasa itu pasti kita. Kalau Tuhan bilang “orang-orang yang merusak”, kita yakin merekalah yang dimaksud oleh Tuhan itu. Yang buruk pasti mereka, yang baik pasti kita.

Padahal manusia dijadikan mandataris kehidupan alam semesta dengan argumentasi bahwa manusia itu dholuman jahula. Lalim dan bodoh. Artinya, manusia sanggup menjadi pemimpin karena modal utamanya adalah rasa bersalah telah berbuat lalim, belum bisa menolong orang lain, sehingga ia senantiasa mendorong diri untuk berbuat sebaik-baiknya. Modal utamanya adalah sanggup merasa bodoh, tidak pinter, tidak unggul dari siapapun -- sehingga ia selalu berendah hati untuk belajar.

Last but not least, tidak ada ceritanya masyarakat iblis dan setan bertengkar satu sama lain, sebagaimana kita manusia selalu dan terus menerus bertengkar memperebutkan khayal masing-masing, mempertahankan benernya sendiri (kefir’aunan) terus menerus, memerlukan kehinaan saudaranya sendiri untuk mendapatkan kejayaan, membutuhkan kehancuran sesama manusia untuk memperoleh yang ia sangka kehormatan.

Walhasil Indonesia benar-benar tidak butuh iblis atau setan, sebab potensialitas keiblisan, kesetanan dan kefir’aunan kita, pada sejumlah hal, sudah melebihi setan, iblis dan fir’aun yang asli.

Mudah-mudahan saya keliru.