widget animasi

translate

Memilih Presiden

Kalau kita makan, kita punya kekuasaan terhadap yang kita makan. Kalau kita memilih makan nasi uduk, itu kita perhitungkan kita membelinya di suatu warung yang kita mampu mengontrolnya. Kalau nasinya ada krikilnya kita protes, dan kita punya pengetahuan apakah nasi ini beracun atau tidak, basi atau tidak.

Setiap pilihan resikonya adalah harus disertai kesanggupan untuk mengontrol sesuatu yang kita pilih. Di situlah kelemahan kita sebagai bangsa Indonesia. Kita harus memilih pemimpin tanpa sedikit pun ada kesanggupan untuk mengontrol pemimpin yang kita pilih itu.

Bahkan lebih dari itu, bukan hanya tidak sanggup mengontrol, kita bahkan tidak punya pengetahuan yang mencukupi sama sekali mengenai sesuatu yang kita pilih. Kita tidak tahu sebenarnya caleg ini kualitasnya bagaimana, hidupnya bagaimana, istrinya berapa, akhlaknya bagaimana, kita tidak tahu sama sekali. Bahkan tokoh-tokoh terkenal pun rakyat tidak tahu. Bapak ini, Gus itu, orang nggak tahu sebenarnya. Dan kalau pun mereka tahu, mereka tak punya daya kontrol terhadap yang dipilihnya ini, tapi mau tak mau harus memilih. Ini saya kira dilema kita bersama se-Indonesia.

Jadi, sederhana saja sebenarnya. Kalau anakmu naik kapal merantau ke luar pulau, maka selama naik kapal akan ada kemungkinan ada badai, ada kemungkinan dibunuh orang, ada kemungkinan dia bertengkar dengan orang, ada kemungkinan dia di ancam bahaya. Kepada siapakah engkau menyerahkan anakmu yang engkau tak bisa mengontrolnya di perjalanan, kepada siapa? Kamu titipkan pak Camat? Kamu titipkan nahkoda? Tidak ada jalan lain kecuali engkau titipkan pada Allah SWT. Kalau yang kau pilih di pemilu nanti kau tidak tahu siapa dia, kamu tidak bisa mengontrol dia, kenapa tidak kau serahkan pada Tuhan? Jadi serahkan pada Tuhan.

Kalau dalam Islam sederhana. Kalau misal anda tidak memilih, kalau nanti anda berdoa supaya bangsa kita sejahtera, nanti Tuhan mengejek juga “Lha kamu nggak milih aja kok minta bangsamu sejahtera”. Tapi kalau memilih bingung juga mau memilih yang mana, sedangkan kalau memilih tidak bisa mengontrol juga. Ya kalau begitu serahkan pada Tuhan.

Kalau dalam Islam caranya jelas. Jadi malamnya shalat dulu kek, kalau nggak sempat ya dalam hati saja berdoa, “Ya Tuhan, gimana mosok saya nggak nyoblos, saya kan warga negara. Saya pilih lah yang kira-kira paling bagus. Cuma kan saya ndak bisa mengontrol dia, Tuhan. Jadi, tolong dong, ini saya pilih satu. Setelah saya pilih dan coblos, saya serahkan kepada-Mu. Kalau dia pemimpin yang baik, panjangkan umurnya. Beri dia kekuatan, dan bantulah urusan-urusannya. Tapi kalau yang aku pilih ini ternyata pengkhianat, penjilat, penindas rakyat dan sama sekali tidak punya cinta kepada kami-kami yang di bawah ini, mbok dilaknat dengan cepat, mbok cepat-cepat diberi tindakan, Tuhan. Terlalu lama lho kami rakyat Indonesia kayak gini terus bingung nggak habis-habis. Terus kepada siapa dong aku mengeluh? Kepada siapa dong rakyat Indonesia mengeluh? Kepada DPR? Wong mereka itu yang justru kami keluhkan kepada-Mu ya Allah. Jadi tolong, Tuhan….”

Bisa juga ditambahi ayat-ayat. Sebelum masuk kotak atau bilik bilang di dalam hati, begitu mau mencoblos baca “Wa makaruu wa makarallah wa-llahu khoirul maakirin”. Kalau mereka makar pada nilai-nilai Allah dan nilai rakyat, maka Allah akan makar pada mereka. Dan yang paling jagoan untuk makar adalah Allah. Kalau mereka khianat pada rakyat, berarti mereka khianat pada Tuhan. Maka Tuhan juga akan makar pada mereka. Wa-llahu khoirul maakirin. Jejak bumi tiga kali, baru dicoblos. Nanti kalau dia khianat, dia sakit kudis.

Hancurkan Kebinatanganku

Pada setiap raka’at sembahyang yang tanpa duduk tahiyat, Anda memerlukan tahap transisi ruku’ dari qiyam menuju posisi sujud. Tapi kemudian dari posisi sujud ke qiyam, Anda melakukannya langsung tanpa ruku’.

Ini acuan pertama.

Acuan kedua adalah pertemuan Anda dalam shalat dengan beberapa karakter atau sifat Allah Swt. Ini berdasarkan kalimat-kalimat yang Anda ucapkan selama melakukan shalat.

Pertama, tentu saja Allah yang Akbar. Lantas ia sebagai Rabbun. Selanjutnya, Rahman dan Rahim. Kemudian hakekat kedudukannya sebagai Malik. Dan akhirnya Allah yang ‘Adhim dan A’la.

Kedudukan Allah sebagai Akbar atau Yang Maha Lebih Besar (Ia senantiasa terasa lebih besar, dinamis, tak terhingga, seiring dengan pemuaian kesadaran dan penemuan kita) — kita ucapkan untuk mengawali shalat serta untuk menandai pergantian tahap ke tahap berikutnya dalam shalat.

Artinya, setiap langkah kesadaran dan laku kita letakkan di dalam penghayatan tentang ketidakterhinggaan kebesaran-Nya.

Si Maha Lebih Besar yang dahsyat itu bukannya mengancam dengan kebesaran-Nya, melainkan mengasuh kita melalui fungsi-Nya sebagai Robbun.

Sebagai Yang Maha Mengasuh, Ia bersifat penuh kasih dan penuh sayang. Rahman dan Rahim. Penuh cinta dalam konteks hubungan individual Ia dengan Anda, maupun dalam konteks hubungan yang lebih ‘heterogen’ antara Ia dengan komprehensi kebersamaan kemanusiaan dan alam semesta.

Tapi jangan lupa Ia adalah Raja Diraja. Ia Malik, hakim agung di hari perhitungan. Ia sekaligus Maha Legislatif, Maha Eksekutif dan Maha Yudikatif.

Dan memang hanya Ia yang berhak penuh merangkum seluruh kedudukan itu hanya dengan diri-Nya yang Sendiri, tanpa kita khawatirkan terjadi ketidakadilan dan ketidakjujuran — yang pada budaya kekuasaan antarmanusia dua faktor itu membuat mereka menciptakan perimbangan sistem trias politica.

Kemudian karakter dan kedudukan-Nya sebagai ‘Adhim dan A’la. Yang Mahabesar (horizontal) dan Mahatinggi (vertikal).

Yang ingin saya kemukakan kepada Anda adalah bahwa kita menyadari-Nya sebagai A’la, Yang Mahatinggi itu, tatkala dalam shalat kita berposisi dan bersikap sebagai binatang. Artinya, kalau kita menyadari kebinatangan kita, yakni dalam keadaan bersujud: badan kita menelungkup bak binatang berkaki empat.

Ketika kita beroperasi setengah binatang, waktu ruku’ bagaikan monyet yang seolah berdiri penuh seperti manusia namun tangannya berposisi sekaligus sebagai kaki — yang kita sadari adalah Allah sebagai ‘Adhim.

Dan ketika kita berdiri (qiyam), Allah yang kita hadapi adalah Allah Rahman, Rahim, dan Malik. Binatang yang ‘ruku’ dan ‘sujud’ tidak memiliki tradisi intelek dan kesadaran ontologis, sehingga tidak terlibat dalam urusan dengan Maliki Yaumiddin. Raja Hakim hari perhitungan. Kadal dan monyet, termasuk juga virus HIV, tidak diadili, tidak masuk sorga atau neraka.

Ketika kita ‘menjadi’ binatang atau menyadari potensi kebinatangan diri saat sujud dan ruku’, kedudukan subyek kita waktu itu adalah aku. Maka kita ucapkan subhana robiiya…. bukan subhana robbina.

Subyek ‘aku’, dengan aksentuasi egoisme, individualisme, egosentrisme, dst lebih dekat ke kebinatangan, dan itu yang harus kita sujudkan ke hadapan Allah Swt.

Adapun ketika kita berdiri, ‘qiyam’, kita menjadi manusia kembali. Dan subyek kita ketika itu bukan lagi ‘aku’ melainkan ‘kami’. Artinya, tanda-tanda eksistensi kemanusiaan adalah pada kadar sosialitasnya, kebersamaannya, integritas kanan-kirinya. Kalau binatang, secara naluriah ia bermasyarakat, tapi oleh Allah mereka tidak dituntut atau ditagih tanggung jawab kemasyarakatannya. Tuntutan dan tagihan itulah yang membedakan antara binatang dan manusia. Itu pulalah yang menghinakan manusia, atau justru memuliakannya.

Mungkin itulah sebabnya maka sesudah kita ber-takbiratul ihram dan berdiri ‘sebagai manusia’, Allah menyuruh kita untuk berlebih dahulu menyadari kebinatangan kita dalam sujud, melalui transisi ruku’. Nanti sesudah sujudnya penuh, silakan langsung berdiri kembali sebagai manusia.

Nanti menjelang Pemilu, pesta demokrasi yang urusannya bergelimang kekuatan dan kekuasaan di antara sesama manusia — ada baiknya semua pihak memperbanyak sujud. Agar supaya kebinatangan diminimalisir.

Dan semoga jangan banyak-banyak yang bersikap sebagaimana iblis, yang menolak sujud, karena merasa lebih tinggi, lebih benar, dan takabbur.

Ah, nanti panjang sekali kalau saya teruskan….

Anjuran Simbah

Assalamu’alaikum wr wb

SETIAP pengambilan keputusan, termasuk hal Pemilu, ahsan wa afdhal jika dilakukan sendiri secara mandiri, sebagai al’abd al-baligh (hamba Allah yg dewasa) dan al-khalifah al’aqil (khalifah Allah pengguna akal).
Akan memilih atau tidak, dianjurkan malam sebelum hari-H melakukan tafakur, shalat istikharoh dan shalat tahajjud, memohon petunjuk Allah dan mewiridkan berulang-ulang “Ya Hadi Ya Mubin” semampunya.

Khusus untuk Jamaah Maiyah, ahsan wa afdhal jika malam itu sebelum tidur melaksanakan Doa Tahlukah.

Jika pagi hari-H mengambil keputusan untuk tidak memilih (karena keyakinan atau pandangan yg dipercaya sudah matang) dianjurkan untuk shalat Dhuha 7x (14 roka’at), membaca “Qul in dholaltu fainnama adhillu ‘ala nafsi, wa inihtadaitu fabima yuhiya ilayya Robbi” diakhiri istighfar sebanyak2nya sesanggupnya.

Jika mengambil keputusan untuk memilih, dianjurkan untuk memilih pihak yang paling diharapkan (berdasarkan pengalaman dan sejarah calon pemilih terhadap yg diharapkannya itu), meskipun tidak dimengerti benar karena terbatasnya informasi tentang pihak yg diharapkan itu. Dengan anjuran: sejak dari rumah hingga saat-saat menunggu giliran memilih, maupun ketika akan melaksanakan pilihan di dalam ruangan — mewiridkan (berbisik-bisik atau dengan hati) “wamakaru wamakarallah wallahu khoirul Makirin”.

Setiap hamba Allah berhak penuh untuk menerima dan melaksanakan anjuran ini, juga berhak penuh untuk menolak dan mengabaikannya. Bagi teman-teman yang tidak mungkin menggunakan anjuran-anjuran ini karena berbeda idiom dan prosedur keagamaannya, mohon diapresiasi dimensi rohaniahnya.

“Man-yahdillahu fala mudhilla lah, wa man yudhlil fala hadiya lah”.
Wassalam wr wb

S i m b a h
April 2014

Saya vs Anjing

Pagi kemarin saya bermain bola dengan seekor anjing besar berwarna hitam putih, di halaman belakang rumah seorang teman, di pelosok, sekitar 40 km dari kota Melbourne, Australia. Hampir tiga jam, melebihi running time pertandingan Piala Dunia. Satu lawan satu, berbeda dengan 11 lawan 11. Tentu saja saya ngosngosan, tetapi gejala flu meler saya menjadi sembuh – maklumlah dibanding Sydney kemarin, cuaca dan suhu udara di Melbourne relatif lebih dingin. Tidak sedingin Canberra – kota yang berpretasi membuat saya tidak mandi 4 hari – tetapi Melbourne tidak stabil, sehingga terkadang lebih menyegat dibanding ibukota Australia.

Bagaimana saya bisa tersandera di sini, sendirian di rumah, bermain sama anjing yang lincah bukan main – mengingatkan ketika saya masih muda bermain bola dengan tujuan adu gares atau slongketan kaki. Pengalaman kesunyian saya kali ini sungguh berbeda dengan tradisi sunyi hidup saya selama ini.

Oh, anjing! I love you anjing! Tentu saja saya bermain bola dengan pakai sepatu di kaki, berusaha tidak menyentuhkan kulit saya dengan bola yang digigit dikulum anjing terus menerus.

Saya tidak akan menyebut anjing makhluk yang rendah. Ia adalah makhluk Tuhan yang sekedar berbeda dengan saya. Sebagaimana kalau bikin kopi jangan dicampur dengan garam atau apalagi sambal. Bukan karena sambal lebih rendah derajatnya dari kopi, tetapi estetika tidak menghendaki mereka berdua diaduk jadi satu. Sayapun tidak menyambal dan nguleg diri saya dengan air liur anjing. Saya bermain, bekerjasama, bermesraan dari suatu jarak yang menjaga kehalalan.

Oh, anjing! Pendawa mengalami ribuan nasib dengan seratus saudaranya Kurawa: saling cemburu, mempertarungkan rasa hak milik, kalah judi, menjadi gelandangan di hutan, kemudian memasuki sampyuh Bharata Yudha – perdebatan moral dan kebimbangan teologis yang panjang, memasuki pemikiran-pemikiran sangat mendalam terutama dalam dialog Kresna dan Arjuna. Di puncak riwayatnya, mereka berlima menang. Tetapi ketika lorolopo menuju sorga, satu persatu dari lima bersaudara Pandawa ini tak kuat tak tahan uji. Sampai akhirnya hanya Puntadewa alias Prabu Darmakusumah yang menapaki tanah di depan pintu nirwana. Namun ia yang berdarah putih ini pun gugur, dan tinggal anjingnya… memasuki sorga.

Tak berani aku meremehkan anjing. Puncak keberanianku hanyalah meremehkan diriku sendiri. Bukankah orang di jalanan yang menjumpai seekor anjing kehausan dan memberinya minum – dijauhkan ia dari api neraka? Bukankah tidak menolong tidak memberi makan kepada anak anjing yang kelaparan saja kita diancam dijilat api neraka?

Siapa tahu aku ini anjing. Jadi kalau ada orang memakiku “Anjing!” aku tidak boleh marah. Atau mungkin malah berterima kasih karena dengan disebut anjing sesungguhnya aku dijunjung kehormatanku – padahal aslinya aku tidak akan pernah mampu sesetia dan sejujur anjing.

Saya bermain oper-operan bola dengan Penny si betina yang besar, sambil Wolly yang cowok menyaksikan di sisi pagar. Tak pernah saya punya pengalaman apapun dengan anjing. Tak punya habitat pergaulan dengan anjing. Tapi Penny sepertinya jatuh cinta kepada saya. Ia terus menerus mendatangi saya dengan menyodorkan bola yang ia kulum-kulum dan ia sodorkan ke tangan saya.

Saya coba berbicara kepadanya dan memintanya untuk meletakkan bola di depan kaki saya. Ternyata ia mau. Maka kami bermain-main – bermesraan sesama makhluk Allah. Aku yang menendang bola, ia menjadi kiper. Babak pertama saya kalah, capek duluan dan terduduk menggeh-menggeh. Ronde berikutnya saya balas Penny yang ngos-ngosan, bersimpuh sambil menjulur-julurkan lidahnya.

Jalaludin Rumi memberi makan kepada tiga ekor anjing yang kelaparan. Orang yang lewat bertanya kepadanya: “Siapa anjing yang kau beri makan itu?” Rumi menjawab: “Itu adalah aku….”

Menjadi Manusia Sang Pendaki

Peringatan Isra’ Mi’raj umumnya selalu dikaitkan dengan perintah sholat kepada umat Islam. Namun kalau dipelajari lagi, ada sisi lain yang lebih menarik dari peristiwa ini. Misalnya kalau kita mau mendalami arti dalam ayat 1 surah Al Isra’, maka kita akan paham bahwa hidup ini harusnya selalu diorientasikan berdasarkan konsep diperjalankan Allah SWT. Dengan kata lain, apapun jabatan kita, entah jadi presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota, guru, dosen, dokter, tukang ojeg, blantik sapi, dst, sesungguhnya berada dalam koridor diperjalankan Tuhan sehingga dengan begitu kita janganlah terlalu banyak berprasangka mengenai diri kita dan mengenai dunia. Jika Allah yang memperjalankan, maka pasti Dia yang akan “memfasilitasi” dan menjamin keselamatan kita.

Kata kunci lain dalam surat tersebut selain kata “diperjalankan” adalah kata “pada suatu malam”. Bagi orang yang sudah sampai kepada jalan Allah, maka akan paham bahwa kata “malam” berarti “gelap”. Artinya hidup itu malam, hidup itu gelap dan peristiwa-peristiwa masa depan dalam hidup kita adalah malam. Karena itu untuk melewati kegelapan itu kita butuh cahaya, kita butuh penerang yang harus kita dapat dari apa saja yang telah diberitakan oleh Tuhan melalui ayat-ayatnya (tanda-tanda) kebesaranNya.

Dari titik itulah, pada pilpres nanti, misalnya, kita hanya bisa berharap pada orang yang benar-benar “diperjalankan Allah” untuk memimpin kita. Selama ini para kandidat calon, berada dalam koridor “diperjalankan” oleh : uang, politik, ambisi pribadi, kekayaan, popularitas dan seterusnya. Padahal mereka berada dalam “kegelapan” malam. Mereka berjalan tanpa “cahaya” dari Allah, sehingga hasilnya, hampir 300 kepala daerah, kini berada di bui.

Karena tidak “diperjalankan” oleh Allah, maka banyak pemimpin kita yang kemudian tersesat di kegelapan, dan pasti tidak mencapai mi’raj. Mestinya setiap peran apapun, jika itu diperjalankan Allah, maka akan sampai kepada tingkat manfaat. Kalau dalam hidup ini tidak ada peningkatan kualitas diri, berarti kita hidup tanpa berkah Allah.

Mi’raj atau Sang Pendaki
Jika dalam hidup kita tidak pernah naik kelas, maka konsep mi’raj tidak terjadi dalam hidup kita. Dalam hadits disebutkan Ash sholatu mi’rajul mukmin. Sholat adalah mi’raj orang beriman. Mi’raj sendiri artinya “pendakian”. Tidak bisa orang sholat itu hanya mendatar tanpa bisa mengantar manusia untuk naik kelas.

Perintah bahwa hidup harus selalu menjadi “sang pendaki” juga dikatakan oleh Paul G. Stoltz dalam bukunya yang berjudul Adversity Quotient (2000). Pada intinya Stoltz menegaskan tidak memadainya seseorang hanya memiliki IQ (Intellectual Quotient) yang unggul saja. Di Amerika, para pemilik perusahaan-perusahaan sukses umumnya tidak bersekolah secara formal, atau setidaknya DO, seperti Bill Gates.

Untuk mampu merubah “hambatan” menjadi “peluang”, Stoltz menawarkan perlunya “keyakinan” sebagai kekuatan utama sebagai seorang pendaki atau “climbers”. Di sela-sela orang lain mengalami keputusasaan, sang pendaki mampu menembusnya. Jika orang sudah memiliki bekal pesimistis, misalnya selalu mengatakan sesuatu sebagai “sulit dan tidak mungkin”, maka ia akan mengalami kesulitan dalam hidupnya.

Karenanya Stoltz membagi ada tiga golongan manusia, yakni : Pertama, Jenis. Quitters, yakni orang yang selalu befikir “tidak mungkin atau sulit”; Kedua,. Jenis campers, atau pekemah, yakni tidak sampai mencapai puncak, namun hanya punggung bukit untuk “berkemah”. Kamus hidupnya hanya sederhana “pokoke segini aja udah cukup, nggak perlu repot-repot”; dan ketiga, jenis. Climbers atau pendaki. Orang jenis ini selalu berseri-seri karena selalu optimistik, meski ada juga yang keterlaluan hingga “menghalalkan” beberapa cara. Semuanya tinggal seberapajauh seseorang memiliki bekal iman jika ingin menjadi sang pendaki agar tidak terjebak dalam hal-hal negatif.

Dalam tradisi sufistik, kekuatan untuk menghadapi sesuatu harus selalu dilatih. Kalau ini dicapai, maka ia akan “tahan banting” dan selalu optimis. Kata Al Ghazali, jika kamu ingin menjadi orang yang saleh, maka milikilah lima sifat dari anak-anak. Kelima sifat itu ialah : mereka tidak cemas makanan sehari-harinya, tidak mengeluh ketika sakit, apapun makanan yang mereka miliki akan selalu berbagi, ketika berselisih tidak ada dendam, perlakuan meremehkan membuat mereka takut dan membuat mereka meneteskan air mata.

Dari titik ini nampak bahwa peristiwa Isra` mi`raj sangat inspiratif untuk perubahan, mencari keadilan, kebenaran, serta menjadi manusia ”sang pendaki”. Ini semua harus dikembangkan jika manusia ingin menuju peningkatan kualitas diri. Ajaran agama itu pada dasarnya untuk membentuk akhlaq dan moralitas. Dalam puasa nanti, mutu ”sang pendaki” harus memuncaki seluruh proses kerinduan yang terjadi sepanjang tahun.

Kalau ini bisa dilakukan maka dalam pilkada dan pilpres nanti, kita berharap akan mendapatkan tipe-tipe pemimpin yang berfungsi seperti ”sang pendaki”, mengabdikan diri menuju kualitas kehidupan berbangsa bernegara yang baik. Di sinilah letak pentingnya kesholehan pribadi dan sosial. “Sholeh itu kemampuan diri untuk menghitung setiap perkataan dan perbuatan kita sehingga mampu menakar apakah yang kita ucapkan dan lakukan itu kira-kira menimbulkan mudharat atau manfaat kepada orang banyak.

Itulah sang pendaki.

The Politics of Kissing Hands

Seorang sahabat sekaligus saudara kita dari Bogor, yang tulus hatinya dan tegak pikirannya, yang bersahaja hidupnya maupun sangat serius hajinya — sejak beberapa bulan yang lalu menuntut saya agar menuliskan lewat sebuah rubrik suatu masalah yang ia sodorkan kepada saya melalui surat. Masalah yang baginya amat sangat penting, dan alhamdulillah bagi saya juga amat sangat penting.

Lebih alhamdulillah lagi karena Rasulullah Muhammad saw, juga sangat concern terhadap soal ini, terbukti lewat banyaknya sabda beliau yang khusus mempermasalahkannya. Juga bagi Allah swt sendiri — sepengetahuan saya — soal ini juga termasuk tema primer dan prinsipil yang harus diurus oleh hamba-hambaNya secara murni dan konsekuen.

Mustahil kalau bagi Allah masalah ini tergolong sekunder. Hal mengenai siapa yang dihormati dan siapa yang menghormati, telah ia informasikan acuan dasar akhlaq atau moralitasnya. Allah tidak memerintahkan agar seorang bapak atau ibu merunduk di depan anak-anaknya, melainkan anak-anak yang dengan prinsip birrul walidain wajib menghormati bapak-ibu mereka.

Bukan karena iseng-iseng saja Allah menciptakan adegan di mana ia memerintahkan para malaikat agar bersujud kepada Adam. Episode ini tidak bisa diubah misalnya dengan meletakkan iblis sebagai aktor yang disembah sementara Adam mensujudinya. Menurut salah satu logika tafsir, begitu satu malaikat menolak menyembah Adam, turun derajat atau kualitas malaikat itu — dari “cahaya” menjadi “api”. Ilmu bahasa Alquran kemudian juga berkembang mengacu pada kasus ini, di mana nur (cahaya) selalu dipakai untuk menggambarkan kemuliaan di akhirat, sementara nar (api, neraka) digunakan sebagai simbul dari kehinaan dan kesengsaraan.

Padahal nur dan nar berasal dari komposisi huruf dan rumpun kosakata yang sama.

Iblis ogah menyembah Adam karena alasan feodalisme dan alasan penolakan terhadap regenerasi. Alasan feodalnya, atau bahasa simbolisasi Qur’aniyahnya bernama takabur (gemedhe, sok lebih hebat), karena Iblis merasa dirinya terbuat dari material atau dzat yang lebih tinggi, halus, kualitatif, dan lebih mulia dibanding Adam yang hanya sedikit lebih tinggi dibanding keramik yang sama-sama terbuat dari tanah liat. Padahal Allah sudah menetapkan bahwa Adam itu ahsanu taqwin (sebaik-baik ciptaan), karena manusia dianugerahi “cakrawala” (kemungkinan), sementara malaikat atau iblis hanya memiliki “tembok statis” (kepastian) untuk baik atau kepastian untuk buruk. Manusia yang mengolah dirinya dalam kebenaran akan berkualitas mengungguli malaikat, sementara manusia yang memperosokkan diri dalam kesesatan akan berderajat lebih rendah dibanding iblis dan setan.

Sedangkan alasan “penolakan terhadap sunnah regenerasi” — maksudnya adalah ketidaksediaan iblis untuk menerima kepemimpinan manusia atas alam semesta. Bagi iblis manusia itu “anak kemarin sore” kok mau sok memimpin.

Emangnya dia sudah pernah ikut penataran P-4 atau memiliki sertifikat Pekan Kepemimpinan HMI atau PMII! Kok berani-beraninya menjadi khalifah! Apakah manusia sudah punya pengalaman dan jam kerja kepemimpinan, sehingga berani sombong mencalonkan diri atau tenang-tenang saja ketika diputuskan oleh Allah untuk menjadi pemimpin?

Demikianlah, karena hakekat eksistensi manusia adalah “pengembaraan ke cakrawala kemungkinan” — maka ia bisa tiba pada ruang, waktu dan posisi untuk berhak dihormati atau justru wajib menghormati.

Para nabi, rasul, dan auliya’ sukses memposisikan diri untuk dihormati oleh para malaikat, ditemani oleh makhluk-mahkluk rohaniah itu ke manapun mereka pergi.

Sementara banyak manusia lain, misalnya Gendheng Pamungkas, sengaja atau tak sengaja melakukan mengembaraan untuk memposisikan diri agar justru menghormati iblis. Bahkan kita semua ini sesungguhnya diam-diam memiliki dimensi-dimensi nilai empirik yang membuat kita layak menghormati iblis — berkat suksesnya rekruitmen dan mobilisasi mereka atas kita-kita yang hina ini.

Kaum ulama juga terdiri atas manusia-manusia biasa yang menempuh cakrawala. Mereka bisa tiba di suatu maqam tinggi, suatu istiqamah, suatu tempat berdiri nilai — yang membuat mereka dihormati oleh ummatnya, dihormati oleh umara, didatangi oleh pejabat gubernur, menteri, dan presiden. Namun bisa juga kaum ulama tiba pada suatu derajat yang tidak mengandung kualitas istiqamah apa-apa, tidak memiliki cahaya kemuliaan sebagai golongan yang ‘alim — sehingga justru mereka dalam tatanan struktural keduniaan justru berderajat untuk selalu sowan kepada umara.

Lebih mengasyikkan lagi kerena sangat banyak ulama, keulamaan, dan kelembagaan ulama yang legitimasinya berasal dari umara. Derajat mereka sangat rendah, dan tak berkurang kerendahannya meskipun ditutup-tutupi dengan seribu retorika dunia modern mengenai partnership antara ulama-umara atau dengan dalih-dalih dan alibi-alibi apapun.

Ulama-ulama jenis ini keadaannya sangat mengenaskan hati. Mereka selalu mengikatkan tangannya pada borgol kekuasaan. Membungkukkan punggungnya di hadapan penguasa dunia, bahkan tidak berkeberatan sama sekali untuk mencium punggung tangan sang penguasa. Di zaman terang dahulu kala terdapat banyak cerita mengenai ‘kesombongan’ ulama yang tak mau dipanggil penguasa, karena derajat ulama bukanlah ditimbali atau didhawuhi oleh penguasa, melainkan dihormati dan dibutuhkan oleh penguasa. Di zaman bebendhu sekarang ini, banyak ulama bukan saja akan sangat senang kalau dipanggil menghadap ke istana penguasa, tapi bahkan selalu mencari jalan, lobi dan channel bagaimana bisa menghadap penguasa.

Sowan ulama kepada umara adalah sebuah mainstream bahasa kolaborasi terhadap kekuasaan. Sowan adalah pernyataan kesetiaan politik ulama kepada umara. Ulama yang membungkuk dan mencium tangan penguasa adalah simbolisasi dari tidak hidupnya etos zuhud di kalangan ulama.

Sowan mencerminkan ketergantungan kaum ulama kepada kekuasaan, keamanan politik praktis, dan mungkin juga jatah-jatah ekonomi — meskipun sekedar arisan naik haji atau dibikinkan satu unit gedung pesantren.

Yang paling salah dari episode-episode sejarah semacam ini adalah Anda-anda yang pusing kepala gara-gara tetap saja meyakini bahwa mereka adalah ulama.