Dalam legenda disebutkan, Candi Prambanan dibangun dengan bantuan bangsa jin atas perintah Bandung Bondowoso untuk memenuhi permintaan Rara Jonggrang dalam waktu satu malam. Namun apakah ini sekedar penyelimutan dari kenyataan yang sebenarnya, yakni dengan mengerahkan tenaga rakyat, namun dengan imbalan yang sangat minim. Mengingat penguasa pada waktu itu sangat besar wibawanya.
Yang jelas, dalam sejarah tercatat, setelah pemerintahan Rakai Pikatan dan Ratu Pramodyawaradhani, kerajaan Mataram mengalami kesulitan keuangan, karena terlampau banyak pengeluaran untuk membangun candi dan memeliharanya.
Candi Sojiwan letaknya di dusun Kebon Dalem Kidul, Bokoharjo, Prambanan, Sleman, Yogyakarta. Ditengah-tengah antara candi Prambanan di sebelah Utara, dan situs Kraton Boko di sebelah Selatan. Luas areal sekitar 2 Hektar, dipenuhi reruntuhan bekas candi yang belum semuanya dikembalikan ke bentuk aslinya. Melihat ciri-cirinya, candiini beraliran Budha, sebab selain bekas-bekas bentuk yoni, juga terdapat bentuk stupa yang cukup besar. Menurut cerita, konon nama Sojiwan berasal dari kata Sejiwa.
Disinilah tempat beradunya perkelahian antara Pangeran Bandung, bangsawan dari kerajaan Pengging melawan seorang sakti bernama Bondowoso. Konon perkelahian itu sama-sama kuat dan sakti, tak seorang pun diantara mereka berdua mengalahkan satu sama. Pada puncak adu kesaktian, keduanya hampir kehabisan tenaga dan kesaktiannya. Dalam kondisi sama-sama kritis, terjadilah dialog siapa sebenarnya Ksatria Bandung.
Akhirnya Bandung berterus terang menyatakan jati dirinya, " Aku adalah Pangeran Bndung, putra ramanda Prabu Danumoyo, Raja Pengging, saya tengah mengemban misi untuk memerangi Prabu Boko yang lalim, suka meminta persembahan manusia untuk di santap". Mendengar jati diri Bandung yang sebenarnya dengan misi sucinya yang di emban, Bondowoso menyadari bahwa musuh yang dihadapinya saat itu sebenarnya masih keponakannya sendiri". Dalam hal ini, seorang tua wajib mendukung usaha generasi muda dalam memerangi kebathilan. Akhirnya Bondowoso rela mati ditangan Bandung, seketika Bandung merasa kesaktiannya bertambah setelah Jiwa Bondowoso masuk ke dalam raga Pangeran Bandung.
Untuk menunjukan rasa terima kasih Bandung atas keluhuran budi pamannya, ditempat itu lalu dibangun sebuah candi. Itulah candi Sujiwan, yang berasal dari kata Manjing Sujiwanya. Untuk selanjutnya, nama Pangeran Bandung disatukan menjadi Bandung Bondowoso.
Hingga kini tempat tersebut masih terasa wingit. Pada malam hari, khususnya pada malam pasaran kliwon, sering terlihat adanya seekor naga besar atau putri cantik menurut penuturan penjaga malam candi Widodo 50 tahun. Hal ini saya buktikan lewat kontemplasi kontak gaib, saya dijumpai dayang penunggu candi cantriknya Bondowoso sakembaran, yakni Pranungkian dan Pangringkihan. Mereka membenarkan bahwa tempat ini adalah lokasi saat-saat akhir Bondowoso melakukan perkelahian melawan Pangeran Bandung, setelah pertempuran di sumur Bandung.
Di Jl. Solo Km 10 ke Utara sekitar 2 Km terdapat candi Sambisari. Disini saya juga melakukan kontemplasi. Jejak purbakala yang terletak di desa Sambisari, Purwomartani, Kalasan, Sleman ini telah selesai pemugarannya sejak beberapa tahun yang lalu, dan telah resmi dinyatakam sebagai obyek wisata.
Dalam kontemplasi, saya berhasil ditemui penunggu candi yang mengaku bernama Eyang Adisaka. Di lihat dari penampilannya, sudah tergolong modern, mengenakan baju surjan lurik dengan ikat kepala hitam. Menyatakan berstatus "Magersari", jadi bukan penunggu asli sebagaimana yang saya jumpai di komplek situs Boko maupun candi Sujiwan yang masih menggunakan busana jaman Hindu.
Ditanya tentang keberadaan candi Sambisari, Eyang Adisaka menjelaskan, candi Sambisari merupakan tempat pemujaan. Seperti biasanya, di tempat ini tersimpat abu jenazah. Bila ditarik garis luar arah Barat ke Timur, akan segaris dengan cndi Kedulan sebelah Utama Bogem, Kalsan, candi Plaosan hingga candi Jago di Jawa Timur.
Beruntung saya bisa kontak gaib dengan para pendahulu. Bukan dengan maksud mengkultuskan keberadaannya, akan tetapi untuk sekedar mengungkap rahasia kekuatan yang terkandung di dalamnya. Laku ini saya anggap sebagai sikap menghormati para leluhur, tanpa mengurangi kepercayaan bahwa semua berkat dan karunia berasal dari Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta.
Postingan ini hanya sekedar untuk mengenal lebih jauh tentang Sejarah dan Budaya Nusantara yang selama ini tidak bisa diperkenalkan oleh lembaga-lembaga pendidikan kepada generasi-generasi saat ini.
Yang jelas, dalam sejarah tercatat, setelah pemerintahan Rakai Pikatan dan Ratu Pramodyawaradhani, kerajaan Mataram mengalami kesulitan keuangan, karena terlampau banyak pengeluaran untuk membangun candi dan memeliharanya.
Candi Sojiwan letaknya di dusun Kebon Dalem Kidul, Bokoharjo, Prambanan, Sleman, Yogyakarta. Ditengah-tengah antara candi Prambanan di sebelah Utara, dan situs Kraton Boko di sebelah Selatan. Luas areal sekitar 2 Hektar, dipenuhi reruntuhan bekas candi yang belum semuanya dikembalikan ke bentuk aslinya. Melihat ciri-cirinya, candiini beraliran Budha, sebab selain bekas-bekas bentuk yoni, juga terdapat bentuk stupa yang cukup besar. Menurut cerita, konon nama Sojiwan berasal dari kata Sejiwa.
Disinilah tempat beradunya perkelahian antara Pangeran Bandung, bangsawan dari kerajaan Pengging melawan seorang sakti bernama Bondowoso. Konon perkelahian itu sama-sama kuat dan sakti, tak seorang pun diantara mereka berdua mengalahkan satu sama. Pada puncak adu kesaktian, keduanya hampir kehabisan tenaga dan kesaktiannya. Dalam kondisi sama-sama kritis, terjadilah dialog siapa sebenarnya Ksatria Bandung.
Akhirnya Bandung berterus terang menyatakan jati dirinya, " Aku adalah Pangeran Bndung, putra ramanda Prabu Danumoyo, Raja Pengging, saya tengah mengemban misi untuk memerangi Prabu Boko yang lalim, suka meminta persembahan manusia untuk di santap". Mendengar jati diri Bandung yang sebenarnya dengan misi sucinya yang di emban, Bondowoso menyadari bahwa musuh yang dihadapinya saat itu sebenarnya masih keponakannya sendiri". Dalam hal ini, seorang tua wajib mendukung usaha generasi muda dalam memerangi kebathilan. Akhirnya Bondowoso rela mati ditangan Bandung, seketika Bandung merasa kesaktiannya bertambah setelah Jiwa Bondowoso masuk ke dalam raga Pangeran Bandung.
Untuk menunjukan rasa terima kasih Bandung atas keluhuran budi pamannya, ditempat itu lalu dibangun sebuah candi. Itulah candi Sujiwan, yang berasal dari kata Manjing Sujiwanya. Untuk selanjutnya, nama Pangeran Bandung disatukan menjadi Bandung Bondowoso.
Hingga kini tempat tersebut masih terasa wingit. Pada malam hari, khususnya pada malam pasaran kliwon, sering terlihat adanya seekor naga besar atau putri cantik menurut penuturan penjaga malam candi Widodo 50 tahun. Hal ini saya buktikan lewat kontemplasi kontak gaib, saya dijumpai dayang penunggu candi cantriknya Bondowoso sakembaran, yakni Pranungkian dan Pangringkihan. Mereka membenarkan bahwa tempat ini adalah lokasi saat-saat akhir Bondowoso melakukan perkelahian melawan Pangeran Bandung, setelah pertempuran di sumur Bandung.
Di Jl. Solo Km 10 ke Utara sekitar 2 Km terdapat candi Sambisari. Disini saya juga melakukan kontemplasi. Jejak purbakala yang terletak di desa Sambisari, Purwomartani, Kalasan, Sleman ini telah selesai pemugarannya sejak beberapa tahun yang lalu, dan telah resmi dinyatakam sebagai obyek wisata.
Dalam kontemplasi, saya berhasil ditemui penunggu candi yang mengaku bernama Eyang Adisaka. Di lihat dari penampilannya, sudah tergolong modern, mengenakan baju surjan lurik dengan ikat kepala hitam. Menyatakan berstatus "Magersari", jadi bukan penunggu asli sebagaimana yang saya jumpai di komplek situs Boko maupun candi Sujiwan yang masih menggunakan busana jaman Hindu.
Ditanya tentang keberadaan candi Sambisari, Eyang Adisaka menjelaskan, candi Sambisari merupakan tempat pemujaan. Seperti biasanya, di tempat ini tersimpat abu jenazah. Bila ditarik garis luar arah Barat ke Timur, akan segaris dengan cndi Kedulan sebelah Utama Bogem, Kalsan, candi Plaosan hingga candi Jago di Jawa Timur.
Beruntung saya bisa kontak gaib dengan para pendahulu. Bukan dengan maksud mengkultuskan keberadaannya, akan tetapi untuk sekedar mengungkap rahasia kekuatan yang terkandung di dalamnya. Laku ini saya anggap sebagai sikap menghormati para leluhur, tanpa mengurangi kepercayaan bahwa semua berkat dan karunia berasal dari Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta.
Postingan ini hanya sekedar untuk mengenal lebih jauh tentang Sejarah dan Budaya Nusantara yang selama ini tidak bisa diperkenalkan oleh lembaga-lembaga pendidikan kepada generasi-generasi saat ini.