widget animasi

translate

Presiden Balkadaba versi : “Laba Untuk Rakyat”

Aku mendengar suara dari irama nafasnya :
Akulah Balkadaba. Aku hayawan raksasa yang kau sangka tinggal di masa silam
Padahal tidak ada lembar sejarah kehidupanmu yang aku tidak merasuk di darahmu
Bahkan aku berdampingan dengan ion, proton, electron, daging busukmu 

Aku sais gelombang nafsu dan frekwensi sejarahmu
Aku meniupkan zat titipan Tuhan di hawa pranamu 


Aku mengurai diri menginti menjadi kristal di pusat jantungmu 
Aku bertopeng cahaya palsuku
Ku pompa tekhnologimu menjadi budaya tanpa kecerdasan
Kristalku memancar melalui gelombang
Memecah pikiranmu sampai terkeping-keping
Menyeret hatimu ke ruang-ruang hampa
Membanting jiwamu hingga terputus syaraf-syarafnya
Aku menguntit kemanapun langkah kalian
Kutandai jalan peradaban kalian yang membentang
Yang segera berujung di gerbang kehancuran 



Ssshh.. Hah! Aku ketakutan sendiri
Aku berlari ke atas bukit
Ku tengok negeriku dari kejauhan
Wahai para kekasih di tanah airku yang kesepian
Apa yang sedang kalian lakukan?
Aku menyaksikan 120 juta orang kosong wajahnya
120 juta orang di ombang-ambingkan oleh hanya 1 juta orang 



Di seret, di giring, di jerat, di lemparkan ke ruang-ruang hampa yang tanpa masa depan
Tetapi aku melihat seribu orang berlarian kesana-kemari
Ada yang pergi cari Joyoboyo
Ada yang ketik REG ke Mama Lauren
Ada yang terbang ke Andalusia hingga Yunani dan Mesir Kuno
Ada yang bersila bertapa memasuki kuil inka dan maya
Ada yang berendam di sungai
Ada yang gelantung di pohon bak kelelawar
Ada yang pergi semedi ke Gunung Lawu

Aauuww…!!
Balkadaba tiba-tiba mengeluarkan suara yang sangat aneh semacam ringkikan, tetapi juga seperti auman yang panjang tanpa kuketahui asal usulnya, tiba-tiba pula badanku sudah berada diatas kepalanya yang sangat besar. Sekilas muncul rasa asik di dalam perasaanku. Seolah-olah aku sedang naik buroq.
Balkadaba membawaku ke puncak bukit. Ia memutar badannya kemudian berhenti, tepat di arah mana tadi aku menatap tanah airku Indonesia. Gelap, keremangan dan cahaya bergantian memancar langit ke tanah air yang subur itu. Kemudian terdengar suara genderang bergemontang menciptakan gelombang-gelombang.
Dan di tengah-tengah gelombang suara dari tanah air itu, aku mendengar seorang lelaki berteriak : 


Aku deklarasikan hari ini. Kabinetku bernama, kabinet Laba Untuk Rakyat
Seluruh mekanisme kerja dan keputusan pemerintahanku harus menuju pencapaian Laba Untuk Rakyat.
Bersama para menteri dan semua aparatur pemerintahanku, aku bersumpah dan mendapat laknat langsung dari Tuhan. Jika bernafas, begerak, melangkah dan melakukan apa saja tidak demi memperjuangkan Laba Untuk Rakyat. 


Ini bukan soal siapa presidennya dan siapa wakilnya, juga tidak penting apakah engkau jadi presiden atau jadi bambung melarat. Para preman, kiyai, artis, jendral pecak silahkan jadi nomer satu. Tapi syaratnya, mengabdi kepada Laba Untuk Rakyat. Siapapun saja yang sudah terlanjur menghuni tanah negeriku dan siapapun saja yang datang dari luar. Semua bekerja dan mengabdi kepada satu hal saja, Laba Untuk Rakyat. Makhluk-makhluk raksasa siapapun nama kalian. IMF, Bank Dunia, ADB, Modal Asing, Modal Ajaib, Wewe Gombel, Genderuwo, Banaspati, termasuk Sundel Bolong, silahkan masuk ke Indonesia bergabung di dalam prinsip, Laba Untuk Rakyat Indonesia. Setan, iblis, konglomerat, global system moneter internasional, dajal iluminati alombratosdruhundimomonolengeng, silahkan berkiprah. Tetapi begitu memasuki batas pagar negeriku, hanya satu yang berlaku, Laba Untuk Rakyat. 


Silahkan para ahli bicara tentang negara, kerajaan, monarki, sosialisme, baik yang religius maupun yang setengah religius. Kapitalisme, ultra kapitalisme, neoliberalisme dan kainamisme. Tapi Kun Fayakunnya cuma satu, Laba Untuk Rakyat. Mau mengolah tambang batubara, emas,.. silahkan!. Mau bikin mall-mall, carefour, carethree, caretwo.. Mau bikin PT Kapal Keruk Taline Kenceng, Saeful Ngantuk Taline Ngaceng, Perusahaan Kluwung International.. silahkan!. Tapi berunding sama saya, dan aturan pembagian hasilnya hanya satu, Laba Untuk Rakyat. Iblis mau bikin perusahaan, malaikat Jibril mau bikin parpol, silahkan!.. tuhan mau kost, silahkan!.. Tapi satu perundingannya, Laba Untuk Rakyat. 


Silahkan masuk semuanya imprealisme jenis apa saja. Silahkan subversi penjajahan lewat kampus-kampus pendidikan dan media-media. Santet, tenung, rudal, bedil, senapan, peluru, mata-mata matamu. Tapi urusan negeriku cuma satu, Laba Untuk Rakyat. MPR, DPR, DPD, atau silahkan bikin lagi KPR, Pak De, Bu De.. Lembaga Sayang Masalah, Aktivisme, Lembaga Dana Internasional. Tayangan rasan-rasan dan wawancara lempar batu dari kejauhan. Madhab Jender, Komunitas Munafik Liberal, silahkan berjoget di panggung nasional, tapi tidak ada aturan, tidak ada undang-undang, tidak ada polisi, tidak ada rapat dan surat keputusan, kecuali demi Laba Untuk Rakyat. 


Pisahkan secara transparan kas pemerintah dengan kas Negara. Tidak ada pegawai negeri yang patuh kepada atasan, yang ada adalah pegawai negara yang taat kepada undang-undang. Rakyat adalah pejabat tertinggi, dan para pejabat adalah buruh dan pembantu yang digaji.

Palsafah negaraku Panca Laba. Laba Rohani, Laba Akhlak, Laba Ilmu, Laba Budaya dan Laba Jasad. Undang-undang negaraku Undang-undang martabat rakyat. Nun sewu ideologi negaraku adalah manunggaling kawulo lan gusti, bahasa arabnya tauhid.. bainalloh.. wannas.. Allohu Akbar. 

Di dada pemimpin, di dalam dadanya Karwo dan Saiful, di dalam dadanya SBY, Budiono, Prabowo, Susilo,..Susilo Bambang Budiono, Budiono Susilo Subianto. Di dalam dada kalian, bersatulah rakyat dengan Tuhanmu. Engkau tidak akan menyakiti rakyatmu, karena engkau tidak mau dilaknat oleh Tuhanmu. Dan engkau tidak akan patuh kepada Tuhanmu, maka rakyat akan marah kepadamu. Karena rakyat dan Tuhan menyatu di dalam kalbumu menjadi pusat pemerintahan, menjadi pusat administrasi, menjadi pusat segala persidangan dan keputusan-keputusan sampai moncrot-moncrot ditubuhmu. 

Itulah sejatinya pemimpin yang dibutuhkan oleh negaraku. Lambat atau cepat, kalian semua, semakin banyak orang di berbagai wilayah, di berbagai provinsi, kabupaten, desa dan kota akan makin banyak yang bersedia mati demi Laba Untuk Rakyat.


NAGINA


Dia memakai semua atribut kepalsuan. Meski sesungguhnya, dia jujur, tulus  dan seluruh ruang di hatinya dipenuhi rasa kemanusiaan. Wataknya halus, gampang tersentuh. Dia dermawan, suka menolong. Selalu bersikap ramah, sopan-santun terpuji, dan kata-katanya penuh keyakinan diri. Yang tak kenal dekat, akan menganggap pribadinya kuat. Padahal dia rapuh, mudah goyah. 
Dia memoles tubuh aslinya, bertentangan dengan wujud yang sudah ditakdirkan baginya. Gaun yang bagus, nampak mewah dan modis, dia beli dengan harga diskon di Butik Malibu, Raja Plaza. Itu sudah termasuk sepatu merah jambu dan tas tangan dengan warna senada. Wangi parfum yang menyengat, hadiah seorang pengagum, menyerbak dari badan. Semua yang lekat di tubuh, nampak diserasikan. Dia sadar, mode sanggup mengubah penampilan. Dan kepribadian bisa terangkat naik, membikin orang terkesan. 
Wig, bulu mata plastik lentik, coklat tua warna lipstik, dan pipi merah rona hasil polesan pabrik, melengkapi wajah. Dia memasang pantat palsu dan teteknya montok akibat suntikan silikon. Kulit putih bersih, lengan dan betis mulus, bulu-bulunya dia cukur setiap pagi. Tangan dan kaki terawat baik, juga kuku-kuku. Tentu, dia langganan setia Salon Herman Tandayu. Hidung mancungnya, hasil operasi tiga tahun lalu di Singapura dan dikontrol rutin tiga bulan sekali, nampak serasi dengan mulut dan pipi. 
Dia ingin jadi wanita. Padahal 30 tahun lalu dia lahir di Cirebon sebagai bayi lelaki. Tapi naluri kewanitaan, terpancar sangat menyerbu. Ibarat bah, sanggup membongkar cengkeraman cakar takdir. Tingkah lakunya sehari-hari cukup menjadi bukti. Dan kabar burung beredar, setahun setelah operasi hidung, dia muhibah ke Jepang untuk mengganti kelamin. Kini, tepatkah fungsi kelamin yang sudah dia ganti itu? Hanya Sang Pacar yang bisa membuktikan. Tapi, siapa pacarnya, jarang yang tahu. Kehidupan pribadinya tak minat dipublikasikan. Yang jelas, secara resmi dia memang belum menikah. Dan dia tidak mau melakukan nikah siri. Tapi, siapa dia itu sih? 
Namanya Nagina. Biasa dipanggil sesuai ejaan; Nagina. Tapi bisa juga dibaca menjadi Na-Jii-Naa. Mengapa namanya begitu, juga jarang yang tahu. Entah nama asli atau palsu, orang tahu dia enggan menyandang nama keluarga. Kalaupun ada tambahan, paling embel-embel miss di depan namanya. Naa, itu dia suka. Miss Na-Jii-Na. Ya, hati-hati, bukan Va-gii-na. Jangan salah eja. 
Malam ini dia berpraktek di rumahnya. Sejak 5 tahun yang lalu, dia dikenal sebagai peramal jitu. Di setiap jam praktek, ruang tamu dipenuhi puluhan klien yang antre menunggu giliran. Dan tak seorang pun yang tidak puas dengan layanan plus ramalannya. Tapi benarkah dia peramal jitu?
"Baik. Dari mana mulai? Nama sudah, catatan pribadi sudah, pekerjaan, umur, kota tempat lahir .. aaah ya, perkara ramal-meramal." 

"Tapi, mohon, please, apa yang saya omong, jangan dianggap pidato pengakuan. Orang yang suka mengaku, sering sok jujur. Artinya ya, tidak jujur. Banyak yang diungkap, tapi masih tetap banyak yang disembunyikan. Saya memilih, lebih baik apa adanya. Tuhan juga pasti paham, jika ada yang lupa atau sengaja tidak diungkap, bisajadi itu lantaran malu atau takut. Ya, jangan malu takut, jangan takut malu. Itu alamiah, manusiawi, hak asasi." 

"Praktek baru dibuka satu jam lagi, tapi di dalam sana sudah antre 20 langganan. Setiap hari, bisa tiga kali lipat dari jumlah itu. Untung, saya libur Sabtu dan Minggu. Simpan tenaga. Kalau tidak, habis enerji, tidak ada waktu untuk diri sendiri. Capek 24 jam mengurusi perkara orang lain. Pak Presiden saja dikasih libur untuk memancing dan bikin lagu pop, masa saya tidak? Menolong orang kewajiban. Istirahat, itu hak pribadi." 

"Kata orang, saya peramal jitu. Sebagian besar ramalan saya, memang tepat. Mungkin karena itu, setiap akhir tahun saya selalu diminta media massa untuk menulis ramalan tahun depan. Saya tulis atau ‘ngoceh di teve tanpa ragu. Dan konon, melesetnya cuma sekitar 15 persen saja. Selebihnya tepat. Tentu saja, guru saya adalah Nostradamus, Joyoboyo dan Ronggowarsito." 

"Apa yang saya ramal? Banyak. Berbagai hal. Semua sisi dari kehidupan manusia. Sos-pol-ek-bud-han-kamnas, Juga olahraga, kesenian, karier tokoh-tokoh, kesehatan, bisnis dan cinta. Ya, cinta dan bisnis. Tahun lalu, saya ramalkan akan lahir sapi dengan kaki lima. Dua bulan lalu terbukti. Saya ramalkan dua pasangan selebriti yang kelihatannya sangat serasi, terlibat skandal dan bercerai. Sebulan lalu terbukti. Saya ramalkan sebuah bank raksaksa bangkrut, nasabah dan negara dirugikan. Terbukti. Apalagi? Saya ungkap kenyataan, tahun ini adalah Tahun Corona. Tahun yang panas luar biasa, suhu alam maupun suhu politik. Ada dua bintang besar di salah satu gugusan tata surya yang menyatu garis orbitnya. Lagi-lagi terbukti." 

"Gelombang panas menghantam Amerika dan Eropa. Tsunami di mana-mana. Kriminalitas meningkat, suhu politik di berbagai negara berubah-ubah sulit terbaca. Dua presiden dikudeta, satu dimakzulkan dan turun tahta, pers mendadak ekstra galak, buruh bergolak, demonstrasi terjadi hampir setiap hari, koalisi pecah, resafel kabinet. Dunia kacau, bumi gonjang-ganjing."  

"Salju jatuh di benua Afrika. Bukan di puncak Gunung Kilimanjaro tapi di padang gurun yang sangat gersang. Israel dan India ‘ngotot ingin ujicoba senjata nuklirnya, persekutuan negara barat berkeberatan. Kebudayaan mulia merosot eksistensi dan kualitasnya diganti secara provokatif oleh budaya slogan dan produk serba instan. Para pejabat memang makin banyak yang gemar melukis dan baca puisi, tapi teater mati suri, karena pemerintah tidak peduli. Film nasional meningkat produktivitasnya tapi didominasi oleh lawak-konyol dan horor picisan. Televisi diserbu telenovela yang kisahnya melulu perselingkuhan dan musik dangdut mulai kehilangan penggemar.
Ini zaman orang sulit membedakan arti antara: polisi, polusi, kolusi, korupsi, ilusi, somasi dan solusi. Juga sulit dibedakan arti antara kartel dan wartel, antara mosi dan asi, antara nespot dan pispot, antara failing kabinet dan kabinet yang failed. Antara makzul dan bergajul. Antara begal, bengal, kental, kenyal, legal dan cekal. Antara kutang dan hutang, antara fasilitas dan obesitas, antara dialog dan monolog. Lihat, perhatikan! Para pejabat lebih suka bermonolog, menghindari dialog. Dan para politikus lebih sering bermimpi jadi selebriti dibanding memikirkan kesejahteraan rakyatnya." 

"Banyak orang besar mati, tulis saya tahun lalu. Terbukti. Pernah dalam dua bulan, tujuh kali saya memakai pakaian hitam tanda berkabung. Dalam setahun, dua kali saya mengibarkan bendera setengah tiang. Saya memang peramal jitu. Hanya saja, saya tak mampu meramal diri sendiri. Itu sering bikin prihatin. Saya tidak sanggup mencari tertuduh perkara pembunuhan atau perkosaan, kejahatan yang semakin banyak terjadi belakangan ini. Saya juga tak sanggup memberitahu tempat persembunyian para koruptor yang buron. Begitu saya paksakan, mata batin saya langsung berubah hitam sehitam-hitamnya, mata berkunang-kunang, saya limbung." 

"Tapi anehnya, saya pinter mendatangkan, apalagi mengusir hujan. Orang menyebut saya ‘pawang hujan’. Ya, saya itu. Saya bersahabat dengan matahari, angin, awan dan air langit atau hujan. Cuaca adalah karakter alam yang mudah ditebak. Apa saja yang saya minta, selalu dikabulkan. Minta hujan, pasti hujan. Minta panas, panas. Semua tergantung order dan nilai tukar mata uangnya. Tak perlu malu, yang penting hasilnya bermutu." 

"Mengapa saya pinter meramal? Dan kenapa saya yang dikasih anugerah kepintaran meramal? Padahal, kata banyak orang, saya ini cacat. Tidak sempurna. Pembangkang takdir. Penghujat irama alam. Tubuh dan jiwa saya ganda, mendua. Saya warga masyarakat kelas dua, yang kalau sudah kebelet kencing di bioskop suka bingung harus masuk pintu WC yang mana: pria atau wanita. Mereka bilang, saya biang penyakit dan tidak layak dipercaya." 

"Tapi mengapa mereka datang kepada saya, padahal saya sering tidak diakui sebagai wanita? Saya banci, kata mereka yang gemar membenci. Saya waria, tuduh mereka yang tidak suka. Lihat baik-baik! Semua ini palsu. Hidung, mata, pipi, susu, paha, pantat. Palsu. Kalau tidak percaya, saya copot semuanya. Untuk membuktikan. Tidak perlu? Perlu? Perlu? Oo, tidak perlu, sebab bisa kena jerat pasal UU Pornografi yang penuh kontroversi itu. Baik. Tidak perlu. Terimakasih. Lebih baik percaya saja, saya ini palsu. Titik." 

"Tapi, tolong kasih tahu saya, mengapa mereka tetap datang dan minta bantuan? Dan mengapa tetap saya ladeni? Mengapa mereka tidak meminta bantuan kepada peramal lain? Banyak peramal yang lebih jago dari saya." 

"Dulu, saya banci jalanan. Lima tahun. Cari uang, jadi pelacur. Langganan luber, karena servis bagus. Teknik main cinta saya, kata semua langganan, tergolong prima. Jangan salah, prima. Bukan primata. Apa saja permintaan langganan, oke, saya berikan. Mau main cara apa saja, oke, saya layani. Dan saya ikut oke juga. Ikut nikmat juga. Bener. Tidak bohong."

"Maaf, kalau terpaksa buka rahasia dapur. Tapi, akhirnya saya jadi buruan banyak lelaki hidung belang. Dicari-cari, dikejar-kejar, diuber-uber. Mereka sebut saya ‘Kembang Taman Krakatau’, ‘None’ sekaligus ‘Abang Jakarta’ swasta. Bangga juga. Tiga judul direbut sekaligus. ‘Three in one’. Banci lain mana mampu menyandang 3 judul? Beneran. Tidak bohong. perhatikan! Para pejabat lebih suka bermonolog, menghindari dialog. Dan para politikus lebih sering bermimpi jadi selebriti dibanding memikirkan kesejahteraan rakyatnya." 

"Banyak orang besar mati, tulis saya tahun lalu. Terbukti. Pernah dalam dua bulan, tujuh kali saya memakai pakaian hitam tanda berkabung. Dalam setahun, dua kali saya mengibarkan bendera setengah tiang. Saya memang peramal jitu. Hanya saja, saya tak mampu meramal diri sendiri. Itu sering bikin prihatin. Saya tidak sanggup mencari tertuduh perkara pembunuhan atau perkosaan, kejahatan yang semakin banyak terjadi belakangan ini. Saya juga tak sanggup memberitahu tempat persembunyian para koruptor yang buron. Begitu saya paksakan, mata batin saya langsung berubah hitam sehitam-hitamnya, mata berkunang-kunang, saya limbung." 

"Tapi anehnya, saya pinter mendatangkan, apalagi mengusir hujan. Orang menyebut saya ‘pawang hujan’. Ya, saya itu. Saya bersahabat dengan matahari, angin, awan dan air langit atau hujan. Cuaca adalah karakter alam yang mudah ditebak. Apa saja yang saya minta, selalu dikabulkan. Minta hujan, pasti hujan. Minta panas, panas. Semua tergantung order dan nilai tukar mata uangnya. Tak perlu malu, yang penting hasilnya bermutu." 

"Mengapa saya pinter meramal? Dan kenapa saya yang dikasih anugerah kepintaran meramal? Padahal, kata banyak orang, saya ini cacat. Tidak sempurna. Pembangkang takdir. Penghujat irama alam. Tubuh dan jiwa saya ganda, mendua. Saya warga masyarakat kelas dua, yang kalau sudah kebelet kencing di bioskop suka bingung harus masuk pintu WC yang mana: pria atau wanita. Mereka bilang, saya biang penyakit dan tidak layak dipercaya." 

"Tapi mengapa mereka datang kepada saya, padahal saya sering tidak diakui sebagai wanita? Saya banci, kata mereka yang gemar membenci. Saya waria, tuduh mereka yang tidak suka. Lihat baik-baik! Semua ini palsu. Hidung, mata, pipi, susu, paha, pantat. Palsu. Kalau tidak percaya, saya copot semuanya. Untuk membuktikan. Tidak perlu? Perlu? Perlu? Oo, tidak perlu, sebab bisa kena jerat pasal UU Pornografi yang penuh kontroversi itu. Baik. Tidak perlu. Terimakasih. Lebih baik percaya saja, saya ini palsu. Titik." 

"Tapi, tolong kasih tahu saya, mengapa mereka tetap datang dan minta bantuan? Dan mengapa tetap saya ladeni? Mengapa mereka tidak meminta bantuan kepada peramal lain? Banyak peramal yang lebih jago dari saya." 

"Dulu, saya banci jalanan. Lima tahun. Cari uang, jadi pelacur. Langganan luber, karena servis bagus. Teknik main cinta saya, kata semua langganan, tergolong prima. Jangan salah, prima. Bukan primata. Apa saja permintaan langganan, oke, saya berikan. Mau main cara apa saja, oke, saya layani. Dan saya ikut oke juga. Ikut nikmat juga. Bener. Tidak bohong."

"Maaf, kalau terpaksa buka rahasia dapur. Tapi, akhirnya saya jadi buruan banyak lelaki hidung belang. Dicari-cari, dikejar-kejar, diuber-uber. Mereka sebut saya ‘Kembang Taman Krakatau’, ‘None’ sekaligus ‘Abang Jakarta’ swasta. Bangga juga. Tiga judul direbut sekaligus. ‘Three in one’. Banci lain mana mampu menyandang 3 judul? Beneran. Tidak bohong."

"Kalau tidak percaya, tanya mereka. Banyak kawan se-angkatan yang masih hidup. Bisa ditanyai. Mereka ada yang masih cabo jalanan. Meski ada yang insyaf, buka jahitan atau salon. Ada juga yang jadi tukang ojek, buka usaha roti bakar dan bur-cang-jotam (bubur kacang hijau dan hitam), buka kios pijit tradisional. Kami tidak putus hubungan. Saya sering bantu kalau mereka kesulitan uang. Saya mendirikan koperasi simpan pinjam. Saya buka butik ala kadar, menyewakan rok-blus lengkap asesorisnya. Harganya, nauudzubillah minzalik, murah nian. Namanya juga subsidi. Ini swadaya. Bukan bantuan pemda. Sampai sekarang saya tetap bantu sebisanya semua kawan yang dulu senasib sepenanggungan. Saya wajib ‘bantu mereka."

"Demi Langit, saya tidak pernah menyembunyikan latar belakang. Untuk apa? Dan mereka juga tidak saya larang, kalau minat cerita, betapa kacaunya saya semasa gitacinta di SMA itu. Saya tekad; jangan melupakan sejarah, ya ‘kan? Pamali. Bisa dikutuk donya. Ingat! Jasmerah: jangan suka menjilati darah. Eh, salah, ‘Jangan siksa si baju merah’. Salah lagi. Pokoknya begitu. Tapi sekarang sudah jadi Jasbiru ya? ‘Jangan sampai bibirmu ungu’. Hauss .. "

"Aduh, aduh, kalau sudah larut begini, pasti lenyap itu kewibawaan dan jadilah, keluar lagi itu watak cabo recehan di zaman dinosaurus dahulu."

(BIKIN POSE-POSE MENGGODA SEPERTI SAAT MASIH MEJENG DI JALANAN, SAMPAI AKHIRNYA JENGAH SENDIRI).

"OeMJi. Sudah-sudah. Stop. Stop. Jaim. Jaga imij. Bek tu de poin: perkara kebisaan saya meramal. Perkara kerja saya yang sekarang. Ah, tapi lima tahun di jalanan, memang sulit dilupakan, sudah sangat melekat. Stop atuh, eneng, abang .. ya gitu. Jaim, bo! 
Semua langganan, yang sudah kumpul berjejalan di ruang tunggu sana itu, tahu asal-muasal saya. Saya datang dari comberan, dari kawasan yang sering dianggap sebagai bak-sampah masyarakat. Saya penyakit menular, wabah, yang memang dianggap pantas untuk dibasmi. Tapi siapa sangka, rasanya mereka tak peduli masa lalu saya. Mereka lebih butuh ramalan dibanding biodata, curiculum vitae. Dan saya bahagia, karena saya diterima. Kalau saya menyapa, ‘Hallo ibu, tante, mbak, kok makin langsing saja. Diet apa?’, mereka senang sekali dan senyumnya langsung mengembang." 

"Saya biasa menyapa ramah, ‘Apa kabar? Anda kelihatan bercahaya dan wangi. Pakai parfum apa? Beneran, saya mencium bau harum yang nikmat begitu Anda masuk ruangan ini’. Mereka langsung merasa nyaman dan berteman. Lalu saya bilang lagi, ‘Baik. Jadi, ada problem apa? Apa yang saya bisa bantu? Ingin tahu apa? Tapi cerita ya? Jangan ada yang disembunyikan, jangan sampai ada yang ditahan-tahan, nanti bisa kena sakit niir. Mereka senang. Berbuka hati, brubul-brubul, semua diceritakan tanpa malu. Kadang saya sampai pusing karena begitu banyak yang harus diingat; nama-nama orang, nama tempat, jam, tanggal, bulan, tahun .. bujubuneng banget."

"Tujuh tahun lalu, saya menerima anugerah itu. Kekuatan itu. Pangsit itu. Ya, pangsit. Aduh, sering banget slip of the tongek. Tapi, memang ini zaman sulit membedakan arti antara: pangsit, wangsit, wasit, pangsus, pansus, kasus, sassus .. Tapi, paham ya, apa yang dimaksud? Intinya, anugerah itu."

"Bagaimana prosesnya, saya sudah lupa. Saya cuma ingat, waktunya hampir jam empat pagi. Saya barusan meladeni langganan yang kesembilan, langganan yang minta posisi aneh-aneh tapi bayarannya sangat bagus. The Last Lelaki on The Road. Saya barusan cebok di pinggir kali. Aduh, kasar lagi, maksud saya bukan cebok, tapi cuci badan bagian bawah. Mendadak ada mercon, eh, maksud saya, cahaya, jatuh di kali depan saya. Kurang ajar, setan belang, sambel asem, begok, bangsaaat, apaan itu? Saya kaget bukan main. Mercon, eh, cahaya, apaan itu? Siapa jail begini? Amper subuh lagi? Jahat banget sih, keterlaluan bercandanya. Canda preman itu." 

"Tapi, waktu saya tengok kanan-kiri, saya heran. Mercon, eh, cahaya, dari mana? Siapa jail? Sepi begini. Tidak ada orang lain, cuma saya dan sungai. Memang ada centeng dan cabo-cabo lain, tapi sudah pada ‘ngorok semua. Dengkurnya malah kedengaran sampai Tugu Monas. Betul. Gila. Bikin takut." 

"Terus, apa-apaan ini? Sinar. Cahaya. Ya, cahaya di permukaan air kali. Lalu ada kepala bayi di situ. Kalau ingat lagi kejadian waktu itu, aduh, berdiri bulu ibukota Itali saya. Bujubuneng. Kepala bayi. Dan bisa ‘ngomong, lagi."

"Kalau tidak salah, dia panggil nama saya; Nagina. Lupa saya. Dia panggil saya Nagina atau Najina atau Najima. Yang jelas bukan Vagina. Tapi rasanya sih, Nagina atau Najina. Pokoknya itu yang saya ingat. Padahal itu bukan nama saya. Waktu itu nama saya Wince. Nama komersil, nama jabatan. Ya, singkatan modern dari nama katepe; Harwindo. Naa, saya ingat, dia bilang lagi; ‘Sudah waktunya kamu berguna untuk orang lain’. Gile, mampus saya. Kejadiannya persis seperti adegan film. Mistis. Dramatis. Misteri abiis .."

"Naa, ya kan? Yang bener saja. Apa saya sekarang tidak berguna bagi nusa dan bangsa? Kan kerja saya membikin banyak orang pada senang badan dan hatinya? Paling tidak nafsu jalang mereka terpuaskan dan tidak berujung negatif, misal memperkosa orang tidak berdosa. Saya berguna, tahu? Ibarat air saya ini pelepas dahaga. Ibarat nasi saya pelepas lapar. Tapi, karena takut, itu semua saya ucap dalam hati. Mana bisa omong, orang bibir pada kaku. Mata melotot dan telapak kaki kayak dipantek di tanah. Saya jadi patung, bo. Bukan patung Selamat Datang di HI itu, tapi patung begok, coy."

"Eh, dia bilang lagi; ‘Pergi kamu dari sini dan tolonglah orang lain!’ Sudah itu, sudah. Dia hilang. Langit gelap lagi. Permukaan air kali hitam lagi. Saya bingung. Saya merenung. Itu instruksi macam apa? Lagian, siapa dia? Bayi ajaib dari mana? Kok, gak jelas konsepnya. Ya memang gak jelas, kayak instruksi sutradara karbitan di sinetron-sinetron kita. Bagaimana judulnya? Berguna untuk orang lain? Lalu apa jenisnya? Terus, caranya? Tapi jelasnya ya memang cuma begitu itu. Cuma dua kalimat. Dan kalimat kedua, dia suruh saya pergi dari tempat mesum ini. Mengapa? Supaya bisa berguna untuk orang lain. Bagaimana caranya? Itu yang tidak dikasih tahu. Busyet .."   

"Sesudah itu, beneran, saya sakit panas, sebulan. Setiap malam saya mengoceh tidak keruan. Kata teman-teman, saya suka bicara sama mahluk yang tidak kelihatan. Hantu dong, yang saya ajak omong. Iya, memang. Dan kata mereka lagi, mata saya suka melotot, kayak lihat yang gaib-gaib begitu. Tuh, tuh, berdiri lagi deh, bulu ibukota Itali saya …"

"Tapi, sesudah sembuh, mata saya jadi lebih terang. Kalau lihat orang, saya pasti lihat juga dimensi lain di belakang orang itu. Atau semua benda dan mahluk yang jadi bayangannya atau yang membayangi dia. Saya bisa lihat sejelas-jelasnya. Anehnya, apa yang saya omong, padahal cuma ceplas-ceplos, mendadak dipercaya orang dan kata mereka, terjadi, banyak yang persis. Dari mana saya mendapat kekuatan itu, sumpah mati, saya tidak tahu. Dari kepala bayi di sungai itu barangkali. Dari siapa lagi, ya ‘kan?" 

"Begitulah riwayat kenapa saya jadi tokoh nasional dan sangat dibutuhkan. Tapi, terus terang, hidup kayak gini, capek banget. Lima tahun mengungkap kutukan. Dan tidak boleh salah. Melenceng sedikit saja, orang langsung bawa golok. Saya suka ngeri, tapi gak bisa lari. Ya, lagian mau lari ke mana? Muka sudah dikenal karena sering muncul di televisi, di koran dan majalah. Banyak orang, dengan berbagai cara, coba-coba cari kesempatan supaya bisa saya ramal. Tapi saya bener-bener capek melihat masa depan kita yang semakin gelap. Pengen stop. Bisa tolong saya? Please. Ah, nasib .. nasib .." 

(SUARA BEL BERDERING, PERTANDA PRAKTEK MERAMAL DIBUKA)

"Aduh, habis waktunya kita kongkow. Saya harus buka warung. Kalau tidak, bisa didemo. Permisi. Kalau ada sumur di ladang, besok kita sama-sama mandi .. tuh ‘kan ‘slip of the tongek’ lagi. Kebiasaan buruk. Maaf, para klien sudah menunggu. Kalau di situ mau, silakan datang kepadaku, nanti aku kasih tahu apa yang situ ingin tahu. Goodbye. Sampai jumpa. Ciao."

"Tidak ada yang dramatis, tragis, filosofis, apalagi politis. Cerita biasa, iklan tentang kualitas produk dibumbui banyolan pinggir jalan dan sedikit horor. Nagina, Na-Jii-Naa dan saya, sama saja. Jadi, tidak ada yang perlu diperdalam atau dipelajari. Ini cuma bagian cerita dari rangkaian hidup biasa. Begitulah kenyataannya. Begitulah nyatanya.  
Tapi lihat, perhatikan baik-baik! Hari ini, dengan segala maaf, saya libur meramal. Saya capek mengungkap kutukan. Kenyataan harus dibukakan. Kita sudah di pinggir jurang. Lihat! Saya copoti semua yang palsu. Saya copoti satu-satu. Satu-satu. Sudah waktunya saya membuang topeng-topeng dan kepalsuan. Tak guna terus dipertahankan. Sudah waktunya semua kepalsuan dibuang. Sudah waktunya. Buang! Buang!"

Profesor Prodo Imitatio


Salam Imitatio! Viva Profesores Prodo! ihi..ihi...ihi.....

Panggil saja aku Prodo Imitiato! ihi..ihi..ihi.....

Saudara-saudara jangan heran dan takjub. Ini dunia sandiwara. Di sebuah negeri yang pendidikannya berseri-seri. Di sebuah negeri yang orang-orangnya penuh nafsu pada gelar. Terutama gelar kesarjanaan. Manakala untuk memperoleh gelar itu sulit, harus bersusah payah, kerja keras, berkorban waktu, pikiran dan tenaga serta dana. Munculah seorang dewa penolong yang siap memberi gelar dari S1-S2-S3, bisa apa saja dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, segala sesuatu yang menyangkut pemberian gelar diselesaikan dengan sejumlah uang, untuk wisudanya di hotel berbintang. Ihi..ihi..ihi.....

Saudara-saudara, uang adalah alat pembeli gelar yang paling ampuh dan dahsyat.  Siapa dewa penolong itu?
ihi..ihi..ihi.....

That’s Me!
ihi..ihi..ihi.....

Saudara-saudara, kitab-kitab ini adalah buku-buku tebal yang sengaja kususun bersama Tim dari universitasku, coba lihat,  ada kitab 1000 gelar, ada kitab kiat-kiat jual beli gelar, masa depan cemerlang bersama Prodo Imitatio, seni berfikir negatif, dll.  Kitab-kitab tebal ini kalau disusun dapat jadi tempat duduk. 
(MENYUSUNNYA DAN LALU MENDUDUKINYA)

Siapa berkenan pesan hubungi saja University Of Zuzulapan yang pusatnya di Amarakua, tetapi cabangnya ada di sini, ya aku sendiri Prodo Imitatio rektornya! ihi..ihi..ihi.....

Saudara-saudara pasti penasaran bagaimana bisa orang-orang beli gelar? Dengan mudah aku jawab, bisa! Mengapa tidak ? Akan aku jelaskan mengapa ?
Negeri yang pendidikannya berseri-seri ini orang-orangnya rindu akan gelar kesarjanaan. Mari kita lihat sejarah negeri ini.

(MENGAMBIL GAMBAR DARI KOPER, GAMBAR RAJA TENGAH MEMBERI GELAR PADA PENGIKUTNYA DALAM SEBUAH UPACARA)

Lihat ini baik-baik saudara, dulu di zaman raja-raja hidup, sebagai penghargaan pada para pengikutnya, dia memberikan gelar dan kedudukan. Para pengikutnya menjadi hormat dan bermartabat.

(LALU MENYIMPAN KEMBALI DAN MENGGANTI DENGAN GAMBAR YANG LAIN. GAMBAR BANGSA ASING SEDANG MEMBERI GELAR PADA BUMIPUTRA)

Lihat baik-baik, ini di masa penjajahan bangsa asing. Untuk menggoda para bumiputra supaya merasa terhormat. Mereka memberi gelar pada siapa saja yang punya uang, gelar itu melekat dan orang itu merasa menjadi  bangsawan, menak, raden, padahal tidak. Konon dulu di tanah sunda ada sebutan Raden Sabenggol Sakancing Bedol, maksudnya dia membeli gelar harganya satu benggol, pakaiannya penuh kancing emas imitasi. Kalau ditarik sekali saja rontok. ihi..ihi..ihi.....

Jadi sebenarnya aku pelanjut tradisi-tradisi itu, Tradisi raja dan penjajah dulu. Saudara-saudara tahu? setelah pendidikan menjadi kebutuhan di negeri yang pendidikannya berseri-seri ini, sejumlah perguruan tinggi berdiri, program S1-S2-S3 pun banyak, ibaratnya mendaki gunung tinggi dengan susah payah, peluang itu muncul bagiku yang dibesarkan dengan penuh kemanjaan. Mengapa kemanjaan? Orang tuaku kaya raya. Akhirnya aku malas.

Setiap pagi ibuku selalu teriak : "Nak, ke sekolah sayang, hari sudah siang!" 

Aku tidak menjawab, sebaliknya selimutku kutarik menutup wajah, waktu itu matahari sudah terang di anak jendela kamar.

Ibuku kembali bersuara dari luar kamar : "Ya sudah sayang, nanti mama kontak kepala sekolah bahwa kamu sakit."

Aku tersenyum dalam selimut. Akhirnya menjadi malas sekolah, tapi naik kelas, ingin dan harus. Kalau tidak aku malu. Jadilah uang orangtua meradang, menyerang kesana kemari membabi buta, hasilnya ternyata tidak sia-sia! ihi..ihi..ihi.....  

Aku naik kelas, dikatrol dari mulai sekolah dasar, sekolah lanjutan pertama, sekolah lanjutan atas, perguruan tinggi, aku hidup dengan irama uang yang meradang-radang di mana-mana, jadilah aku seorang sarjana yang lulus karena permainan uang! ihi..ihi..ihi.....

Tetapi aku tak siap menerima tantangan, ketika harus bersaing menjadi seorang doktor dan guru besar, aku gagal total, aku meminggirkan diri pelan-pelan, dan bergabung dengan University of Zuzulapan dari Amarakua. Sejumlah orang yang mencari keuntungan lewat jual beli gelar, karena gelar memang dicari demi gengsi, diburu demi sesuatu.
Kebetulan aku salah satu pemilik saham terbesar dalam bisnis gelar ini, maka dengan mudah kedudukanku sebagai rektor perguruan tinggi cabang dari Amarakua itu. Semakin gila sepak terjangku, semakin banyak uang terkumpul, orang-orang senang membeli gelar, dan memberendel di depan namanya. Mulai dari gelar S1-S2-S3 bahkan profesor dan Honoris Causa, banyak dan berani bayar tinggi. Aku sering bernyanyi sambil menghitung untung.

"naik-naik ke puncak gunung tinggi-tinggi sekali-kiri kanan kulihat saja banyak pohon gelar."

(TERKEKEH SEPERTI KAMBING. MENGAMBIL GAMBAR LAMBANG UNIVERSITASNYA)

Nah ini pohon gelar, lambang University of Zuzulapan, indah bukan. Demikian promosiku, saudara-saudara berminat hubungi aku. Di nomor khusus

(SETENGAH BERBISIK)

Jangan disini, di sini terlalu terbuka.

Saudara-saudara, sekarang aku jadi penghuni hotel prodeo, dimana curut dan kecoa suka datang bertandang. Sebagai hiburan, tidak apa-apa, curut suka ku kejar-kejar lalu keluar. Kecoa tidak kumatikan, tapi kutangkap lalu kuperhatikan, luar biasa saudara-saudara. Makhluk menjijikkan itu ternyata punya daya tahan hidup yang tinggi kalau tidak dibikin mati. Dia akan tetap bertahan tanpa tahu waktu sudah berganti. Si kecoa ini, aku beri nama si kepala baja, karena cerminan aku yang tengah menderita tetapi harus bertahan hidup sampai masa hukumanku habis. Aku akan menghirup udara bebas kembali.

(TIBA-TIBA ADA KORAN DILEMPAR DARI LUAR JERUJI)
Eiit, untung berkelit.

(TERIAK)
Kalau bagi-bagi koran jangan dilempar, berikan saja secara sopan!

(TERDENGAR SUARA SIPIR : Makan tuh koran, beritanya ada di halaman…!)

Hei! Sipir! Halaman berapa?

(TERDENGAR SUARA SIPIR : Cari sendiri! Masa Prodo bodo!)

Dasar, sipir tahunya cuma nyengir.

Saudara-saudara tahu, di hotel prodeo ini memang gratis, tapi ada juga yang tidak gratis. Aku lihat koran dulu, sayang tidak ada kopi hangat yang masih mengepul dan sepiring pisang goreng madu kesukaanku.

(MEMBUKA-BUKA HALAMAN KORAN)

Menteri pendidikan memberantas para penjual gelar, sebuah gebrakan baru penuh harapan. Baru-baru ini menteri pendidikan Manaboa telah membuat kerjasama dengan pihak kepolisian untuk memberantas bisnis jual beli gelar kesarjanaan. Beberapa perguruan tinggi papan nama diduga banyak berbisnis jual beli gelar. Sebagaimana diberitakan pekan lalu, telah ditangkap seorang gembong bisnis jual beli gelar bernama Lay Apusi alias Prodo Imitatio yang selama ini telah berhasil mewisuda orang-orang penting di Manaboa ini dengan gelar-gelar imitasi. ihi..ihi..ihi.....
Akhirnya masuk koran juga.

(MEMBACA KEMBALI)

Bisnis jual beli gelar memang sudah menggurita tanpa upaya memberantasnya, niscaya akan banyak sarjana, magister dan doktor palsu. Kalau di Manaboa ini banyak para sarjana palsu, apa jadinya negeri ini. Bayangkan, menurut data, University of Zuzulapan yang asalnya dari Amarakua, cabangnya dikelola Lay Apusi alias Prodo Imitiato itu telah menghasilkan lima puluh orang doktor, seratus lima puluh tujuh Master Bisnis dan tiga ratus tiga puluh tiga sarjana berbagai bidang. Di mana mereka sekarang?
Mereka menjadi orang-orang penting di Manaboa ini!

(BERDIRI DAN BERTERIAK-TERIAK)

Mereka menjadi orang-orang penting di Manaboa ini!
Mereka menjadi orang-orang penting di Manaboa ini!

(SETELAH MERASA LELAH DIA DUDUK KEMBALI)

Saudara-saudara tahu, gelar akan terus diburu, sepanjang orang butuh, meski aku disini, aku banyak tangan kanan, banyak kawan-kawan yang terus dengan gigih dan bertahan dalam bisnis jual beli gelar secara sembunyi-sembunyi dan kamuflase tinggi. Bagiku apalagi, kecoa si kepala baja itu membuat aku sadar dan belajar, bahwa sepanjang banyak orang memerlukan gelar tanpa harus susah payah asalkan punya uang, bisnisku tak kan mati. Seperti pelacuran, sepanjang masih banyak laki-laki hidung belang mata bongsang bertandang ke sarang-sarang kenikmatan ranjang itu, sepanjang itu juga bisnis esek-esek laku keras bak kacang goreng. ihi..ihi..ihi....(TERKEKEH-KEKEH SEPERTI KAMBING)

Seharusnya yang ditangkap bukan pelacurnya, tetapi para hidung belangnya, bukan penjualnya tapi pembelinya. Di negeri ini aneh, pelacur di tangkapi, dirazia malam-malam, hidung belangnya dibiarkan bebas berlalu lalang. Termasuk dalam bisnis gelar ini, yang ditangkap penjualnya tetapi pembelinya dibiarkan begitu saja tanpa sangsi apa-apa, bahkan akhirnya banyak yang jadi orang penting.

(BERDIRI DAN BERTERIAK-TERIAK)

Yang harus ditangkap itu pembeli bukan penjual !
Yang harus ditangkap itu pembeli bukan penjual !

(KETIKA TENGAH BERTERIAK, TIBA-TIBA SEEMBER AIR MENGGUYUR TUBUHNYA)

(TERDENGAR SUARA SIPIR : Mandi tuh air, teriak sampai serak !)

Apa ini? Sipir gila, aku bilang aku lagi malas mandi. Kenapa kamu guyur! jadi basah semua nih !

Maaf, saudara-saudara, perlu kami beritahukan bahwa bisnis jual beli gelar hanya terjadi di Manaboa, bukan di Indonesia. Terimakasih.




si "....."

WAJAHNYA PENUH KHARISMATIK. SEDIKIT KUMIS. STELAN BAJU SAFARI. RAMBUT MENGKILAT SEPERTI BASAH. DAN BERSEPATU ALA COWBOY. SEBELAH KAKINYA MENUMPANG DI ATAS LUTUT KAKI YANG LAIN. DIA TERSENYUM PADA RAKYAT. SENYUMAN RAMAH YANG RADA ANEH. DAN SEBELUM MULUTNYA BICARA, IA MENGANGGUK DENGAN PENUH RASA HORMAT. TAPI TAMPAK KONYOL.
“Selamat datang, Saudara-Saudariku…. Selamat berjumpa. Dan apa kabar ? Senang rasanya saat ini saya dapat bertatap muka dengan anda sekalian. Tak lain, karena saya selalu rindu dan menantikan saat-saat seperti ini datang. Meskipun pada kenyataannya, sama sekali kita ini tak pernah bertemu sekali pun di masa lampau. Tapi tak apa-apa. Saya tak pernah punya pikiran jelek pada siapapun. Tak terkecuali kepada anda-anda sekalian yang sedang berada disini, dan menyimak dengan seksama maupun belum mencapai pada tingkat pengistilahan nilai-nilai dari seksama itu sendiri. Boleh-boleh saja. Rilek saja. Karena saya percaya, bahwa masih ada cinta yang kesasar pada pandangan pertama….he….he…he. Dan itu, suaaaaangaaat pueeentiiing sekali !“

“Hidup memang penuh putaran. Bahkan putarannya tak pernah dapat kita kejar meskipun dengan langkah-langkah yang strategis berbantu alat serba canggih seperti apa pun. Sebab itu adalah kodrat. Sangat alami saya bilang, kalau kita tidak mau mengatakan semua itu sebagai sebuah bentuk ‘skenario besar’ yang konon dari sang maha pencipta manusia, dunia, langit dan bumi beserta isinya. Tuhan !”

 “Dan bersamaan dengan waktu yang mengalir, hidup pun tak ubahnya seperti air. Mudah membeku bila kedinginan. Menguap kalau dipanaskan. Bahkan menyublim dalam kondisi-kondisi tertentu sehingga akal sehat kita ini tidak lagi diberi tengat jarak dan waktu untuk bisa berpikir kembali tentang apa yang sudah terjadi. Apalagi yang belum. Ner, teu? Tapi itu sangat berguna. Setidaknya untuk orang-orang yang tak putus asa.”

“Dengan gairah cinta yang membara, tentu hidup terasa indah. Dan kita tidak perlu lagi bosan menunggu akan datangnya hari kiamat apabila hanya ingin mendapatkan sebentuk sorga. Sorga yang sebenar-benarnya sorga yang pernah tercipta dalam setiap angan-angan kita. Kelamaan. Dengan mimpi yang benar, semua itu dapat diraih mulai sekarang. Tinggal kita mau saja melangkahkan kaki menujunya. Juga mengekarkan genggaman tangan untuk dapat mempertahankan apa-apa yang sudah pernah kita raih. Bahkan terus mengembangkannya. Dengan badan yang sehat, pemikiran yang tepat dan disertai pemahaman yang akurat. Serta yang terpenting,….. pake siasat !”

“Intinya adalah strategi. Tentu, bagi orang-orang yang belum terlatih, semua itu akan mustahil diwujudkan. Sebuah sorga tak hanya dibangun atas dasar pemikiran yang kerdil, melainkan dari sebuah cita-cita besar yang konsisten diperjuangkan. Apalagi kalau ditempuh dengan kaki yang telanjang. Sebab jalannya penuh rintangan. Onak dan duri telah tersebar dimana-mana. Dan sewaktu-waktu bisa dengan mudah menggores telapak kaki anda yang tidak hati-hati melaluinya. Nah, apalagi jika tangan anda juga hampa. Kosong. Tak membawa apa-apa pun sebagai bekal di perjalanan. Ya sudah, mati saja.”

“Ini soal perjuangan, Saudara. Perjuangan! Jadi jangan main-main. Hidup dan mati kita sudah kita pertaruhkan disini. Dan tentunya, tak penting lagi menggunjingkan tentang seberapa banyak pengorbanan harta-benda serta keluarga apabila dibandingkan dengan suksesi yang akan nanti kita dapatkan. Semua itu kecil….. Ya, seperti hukum ekonomi saja. Membeli atau menjual. Dibeli atau dijual, gitu. Politik pun demikian. Dengan modal seminim mungkin, kita raih keuntungan sebesar-besarnya. Tidak apa keluar sejumlah uang kita guna mendapatkan banyak dukungan dalam kampanye. Toh kalau berhasil, kan kita juga yang menikmatinya. Sebarkan saja berbagai jala guna menangkap pundi-pundi suara. Tebar pesona dimana-mana. Mulai tunjukan jasa-jasa kita walau pun kecil dan sangat kita sadari semuanya itu tak begitu berarti. Bikin pernyataan-pernyataan kontroversial. Pancing semua lawan politik anda supaya supaya mau berkonfrontasi secara terbuka. Kalah banyak dukungan kagak apa-apa. Yang penting kita angkat suara. Yang penting konflik. Yang penting populer. Dan persetan dengan setan.”
“Oya, sebagai orang politik, tentu saja kita juga mesti tahu beberapa rumus basi namun masih sering dipakai sehingga kini. Kalau yang kita kejar hanya duit, ikuti saja berbagai bursa pencalonan untuk suatu kedudukan dalam politik. Lebih kecil resikonya. Toh bila ada orang yang benar-benar ngotot ingin mencalonkan dirinya, maka ia akan menyumpal mulut anda dengan gula-gula. Buat diri anda supaya tetap terlihat meyakinkan; bahwa anda punya pendukung begitu banyak dan hebat-hebat. Kalau gak punya, buat saja kebohongan besar. Ada banyak LSM-LSM gurem yang terbiasa memanfaatkan keruhnya situasi dan kondisi bangsa ini”

“Kunjungi fakir miskin di daerah-daerah yang diperkirakan merupakan kantong-kantong suara yang cukup dominan. Beri saja sedekah. Gak perlu semua, yang penting ada publikasinya di media massa. Kunjungi beberapa orang penting di negeri ini supaya kita kelihatan banyak kenalan. Kunjungi pesantren dan pengajian serta rumah-rumah ibadah lainnya. Ambil hati para pemuka agamanya. Beri sedikit ocehan gombal dengan sebagai uang muka: kiriman semen dan batu bata untuk merehab bangunan yang rusak. Kalau semua masih bagus, anggap seperti sudah rusak. Bilang saja catnya luntur. Lalu catut nama mereka dalam setiap obrolan dan kesempatan supaya publik pun yakin bahwa kita ini benar-benar orang penting yang terpenting juga sangat dipentingkan. Jadi, jangan ragu dengan memasang embel-embel agama dalam kampanye. Jangan? Kenapa? Ah, sok suci anda ini. Dosa? Kata siapa….. This is just a game. Ini hanya permainan. Dalam politik kan sah-sah saja. Apa ada yang marah? Ya, terserah. Ini kan kenyataan.”

“Nah, untuk lebih memperbesar wacana, di atas sudah saya singgung sebelumnya. Yakni guna memuluskan jalan anda mencapai tampuk kekuasaan, salah satunya adalah anda juga harus punya satu dekengan lagi. Aparat keamanan? Bukan, sudah terlalu klise itu. Memang, asal punya duit cukup kita sudah bisa membeli perangkat penegak hukum di negeri ini. Preman? Itu sih gampang. Tinggal kasih saja minuman keras beberapa krat dan uang recehan, beres. Coba tebak…. Siapa? Tepat sekali. War-ta-wan. Memang wartawan. Anda tahu? Tak semua wartawan itu punya idealisme sebagai media controling yang baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Justeru kebanyakannya adalah Uka-uka. Alias WTS (Wartawan Tanpa Surat Kabar). Kenapa harus wartawan? Lho, kan biar kita populer…..”

“…..eee, hampir lupa. (SETENGAH BERBISIK) Kalau anda memang berminat bekerjasama dengan semua pihak, saya punya catatan kecil pribadi yang sangat rahasia. Mau tahu? Gini, jangan sekali-kali berkampanye di hadapan seniman. Apalagi ngasi bantuan segala. Pengalaman membuktikan, kalau seniman dikasi bantuan, uangnya diambil milihnya kagak. Sontoloyo…..”

“Dan begitulah saudara. Dalam kehidupan seperti ini, saya harus terus menguras otak agar apa yang tengah saya miliki tidak jatuh ke tangan orang yang tidak kita inginkan. Saya harus terus mengawasi gerak-gerik musuh. Mendeteksi setiap perubahan yang terjadi. Insting, itulah modal utamanya. Ya, seperti perang juga. Apa yang kita lakukan harus disertai dengan perhitungan resiko yang penuh kehati-hatian. Karena kalau tidak demikian, sia-sia saja semuanya….he….he. Dan saya pun akhirnya tidak pernah merasa puas mensyukuri apa yang telah menimpa diri saya. Ketiban rejeki sebesar ini. Otak !”

“Wah…..saya jadi teringat akan kisah di masalalu. Yakni ketika Nabi Sulaiman diberikan beberapa pilihan oleh Tuhan. Dan yang dipilih Sulaiman itu hanyalah ilmu. Kecerdasan. Padahal pilihan yang terbaik secara naluri telah disodorkan kepadanya. Harta banyak melimpah ruah 
serta tahta kerajaan, juga wanita yang sangat cantik. Tapi beliau tidak memilih semua itu. Ia hanya tertarik pada pengetahuan. Dan dengan kepintarannya, akhirnya semua pilihan yang lain pun ia dapatkan di kemudian hari. Hebat !”

“Hla, begitu juga dengan saya. Coba, anda lihat baik-baik diri saya. Sebentar saja. Ayo! Nah, sekarang apa yang anda lihat? Apa? Kumis saya jelek? Bukan itu, lihat lagi. Jangan menyinggung soal kumis. Gini-gini juga pernah menaklukan artis selebriti. Dan ngomong-ngomong soal selebriti, ada juga lho yang jadi simpanan kawan-kawan saya. Piaraan, gitu. Ah, cobalah sekali lagi. Lihat saya, lihat! Nah, nah….. Apa? Kursi? Ya, tentu saja ini kursi. Tapi coba anda semua perhatikan sekali lagi. Bukan hanya kursinya. Melainkan makna daripada kursi ini. Sudah? Ha…ha….. Saya yakin seyakin-yakinnya anda semua pasti mafhum. Mengerti….”

ORANG ITU BANGKIT DARI KURSINYA. DAN MEMAMERKAN APA YANG DIMILIKINYA KEPADA SEMUA RAKYAT. LALU MENYELINAP KE BELAKANG KURSI YANG BARU SAJA DIDUDUKINYA. MENYENTUH-NYENTUHNYA DAN BICARA.
“Kursi inilah yang selalu jadi rebutan banyak orang. Tak peduli dengan tingkat status kasta sosial orangnya sendiri. Hanya orang dengan selera rendahan saja yang tidak mau duduk di atasnya. Anda tahu? Sebab di kursi panas inilah seluruh impian digantungkan. Harapan-harapan kita akan lebih cepat terwujud jika sudah mendapatkannya. Disinilah cita-cita menemukan titik klimaksnya. Orgasme dalam segala kemegahan duniawi yang terkadang terlalu muluk untuk dihayalkan. Tapi ini kenyataan. Riil. Sehebat apa pun orangnya maka ia belumlah begitu sempurna bila tidak pernah sekalipun menyentuh kursi seperti ini. Sebab itu adalah dunia, Saudara. Dunia !”

“Namun, ingat! Tak sembarang orang boleh memilikinya. Kursi ini diperuntukkan hanya bagi orang-orang yang terpilih dan berani nanggung resiko. Konsekwensinya, kalau tidak mampus oleh massa karena dianggap penipu, maka matilah dalam penjara. Dan jangan salah, Saudara. Jikapun anda harus mati, maka nama anda sekalian akan terus dikenang sepanjang masa. Apalagi jika anda gugur di medan laga. Karena ini perjuangan. Dan yang mati dalam sebuah pertempuran adalah pahlawan. Catat itu. Pah-la-wan. Luar biasa bukan?”

“Dengan tenang dan khidmat, upacara penguburan anda berlangsung lancar. Tak kurang satu apapun. Karangan-karangan bunga menumpuk dengan ucapan bela sungkawa yang berlebihan. Dan ribuan pendukung serta simpatisan sarat berderet dari ujung ke ujung taman pemakaman. Disertai haru birunya tangisan yang menyeruak menusuk-nusuk angkasa jagat raya….”

“Bahkan dengan roh anda yang sudah berpindah alam itu, akan merasakan juga kebanggaan yang tiada taranya atas kesedihan yang terjadi pada dunia karena telah terpisah dari kehidupan anda. Ketentraman sepenuh jiwa. Bukan hanya nama anda yang akan selalu disebut-sebut dalam tiap kesempatan resmi maupun tak resmi. Dalam obrolan biasa maupun dalam sebuah perdebatan. Tapi khalayak juga senantiasa akan menerima berbagai asumsi, apologi, atau pendapat yang pernah anda semua lontarkan. Paling tidak sebagai bahan kajian para ilmuwan dan sejarahwan. Gagasan-gagasan anda yang cemerlang selalu tertulis di koran-koran serta buku-buku sejarah dengan judul yang ditulis dalam hurup tebal dan besar juga bergaris bawah. Di situ, potret 
tampang anda pun terpampang dengan bagus, sehingga orang-orang mengenalinya dengan baik dan akrab. O, Si Anu yang pahlawan itu? Ya, saya pernah mengenalnya….. Begitulah kira-kira mereka bicara dalam penuh kekaguman mengenangkan kehidupan anda. Luar biasa. Seakan-akan dengan banyaknya menyebut-nyebut nama anda, dan dengan seringnya menceritakan kembali kisah-kisah yang sudah pernah anda lalui, mereka bisa mendapatkan pahala. Coba, terpikirkah oleh anda akan semua yang sudah saya ucapkan barusan? Tapi,…”

“….Tentunya jika anda dinilai baik oleh mereka. Dan mereka yang saya maksud adalah orang-orang yang selama ini mendukung kita meskipun dengan beragam alasan. Tim sukses istilahnya. Mulai dari yang suka memanfaatkan keadaan dan kesempatan, hingga orang yang terpaksa didesak oleh keadaan. Dari penjilat yang suka mencari kedudukan, sampai pada penjahat yang berstatus terhormat di dalam sistem ketata negaraan. Dan kebaikan disini selalu cenderung subjektif. Tidak apa menjahati pihak lain asalkan jangan menghianati kawan sendiri. Tak mungkin mereka mengenangkan orang yang berperilaku mencla-mencle’ dan gak jelas. Apalagi musuh-musuh di luar sana sudah menantimu dengan berbagai serangan yang sewaktu-waktu dapat dilancarkan. This is a time bomb. Musuh-musuh yang dimulut dan kepalanya terdapat dendam amat dalam nan mengerikan. Teroris elit berwajah manis. Habislah ente. Jangankan sekedar ucapan selamat, sedikit sanjungan pun takan mungkin diperoleh. Cemoohan dan fitnah bersarang telak di wajah anda dengan telak. Yang gak hanya buruk rupanya, melainkan pula bau busuk punya aroma. Emoh orang mendengarkan nama anda disebut-sebut. Najis tujuh lapis…..!!!”

“Yah,….begitulah saudara. Romantika dari sebuah estetika dramaturgi kenyataan. Terkadang, bila saya membayangkan hal itu akan terjadi pada diri saya, saya jadi ngeri sendiri. Takut. Namun ketakutan pun akan sirna sendirinya apabila anda telah merasakan apa yang sekarang ini sudah dan sedang saya nikmati. Kebahagiaan. Tak pernah dapat saya lukiskan. Bebas pergi kemana saja walau ke ujung dunia sekalipun. Kan ada negara yang membiayai. Kalau di dalam kas organisasi udah kempes, ya, ngorder proyek saja ke dinas-dinas. Apa? Gak mungkin? Apanya yang kagak mungkin di negri ini, bro. Dan ingat. Gak perlu banget nama kita dicantumkan di dalam kontrak pekerjaan. Pinjem aja benderanya ke pengusaha-pengusaha yang udah jadi kroni. Atau kalo gak mau bikin perusahaan fiktip, jual saja nama yayasan yang bisa diajak sekongkol buat minta sumbangan. Rebes, aeh, beres. Dan perjalanan yang saya maksud di atas tentu haruslah punya alasan yang mendasar. Dengan tema ilmiah dan selalu mengatasnamakan rakyat. Studi bandinglah, penelitian, atau apaun saja asal tak mencurigakan meskipun kenyataannya kita hendak liburan gratis dan mewah. Prosedur harus ditempuh dengan rapi. Supaya berkas-berkas yang menjadi barang bukti tampak sempurna dan gak bermasalah. Skenario yang hebat, bukan? Apa? Perempuan? Alah, jangan ngomong tentang masalah yang sepele itu…..”

“….Anda tahu? Setiap saat jika saya memang menginginkannya, perempuan-perempuan itu pun akan rela ngantri demi mendapatkan jatah untuk saya tiduri. Gak percaya? Lihat saja nanti. Oya, sebentar lagi mereka akan datang. Kemarin saya ada deal-deal-an bersama pengusaha yang sodaranya mantan pejabat itu. Dan dia berjanji kalau proyeknya sudah gol, maka saya akan dapat V sekian persen dari sejumlah nilai yang ia peroleh. Plus bidadari penyelamat kaum adam yang sudah biasa kehausan pada saat libidonya mulai melonjak-lonjak minta dikasih jatah kepuasan…..”

KETIKA IA MASIH TERUS SAJA BICARA, MAKA TERDENGAR SUARA-SUARA ANEH. MESKIPUN BELUM JELAS TAPI CUKUP MEMBUAT PERUBAHAN SUASANA. DAN IA SEMAKIN TERBUAI OLEH BERBAGAI IMPIANNYA. TERUS MENGOCEH SAMBIL MERASAKAN SEOLAH-OLAH IA SEDANG BERSETUBUH. DAN ITU TAMPAK BEGITU MENYEDIHKAN !

“Nah, anda juga mendengar mereka datang, kan? Ya, itu dia. Langkah kaki yang sangat merdu. Bagaikan irama musik rebana. Atau bunyi tabuhan tam-tam dalam dangdutan…. Ha….ha.…ha. Aduh, saya jadi kepengen cepet-cepet asyik masyuk. Kehangatan…oh…yes. Kelembutan…..oh…no. Sebentar lagi suguhan sorga akan datang…..”

SUARA-SUARA SEMAKIN NYARING TERDENGAR MULAI MEMANASI SUASANA. IA MULAI MENYADARI KEADAAN. IA SEPERTI MELIHAT DAN MERASAKAN BERAGAM SOSOK MUNCUL DI HADAPANNYA. TIBA-TIBA TUBUHNYA BERGIDIK KERAS. IA MULAI TAK TERKENDALI. TANGANNYA MENUDING-NUDING KE ARAH-ARAH YANG KOSONG. BAHKAN MENJERIT-JERIT TAK KARUAN.

“Hey, siapa kalian yang bicara kotor itu di hadapan saya? Ayo ngaku! Tak kalian lihatkah akan siapa yang sedang kalian hadapi saat ini? Heh, apa yang akan kalian lakukan? Ah, kalian ini hanya tahu arti menggoyang tanpa mau bersusah payah untuk menggayung. Apa? Menyerahkannya? Enak saja. Saya dapatkan kursi ini karena saya memang berhak mendapatkannya. Sebab ini adalah hasil sebuah pilihan. Atas nama kemiskinan saya bicara. Juga atas nama harkat dan martabat bangsa ini juga saya berjaya. Dan jika saat ini saya sedang menikmati hasil perjuangan, ya, jangan sirik dong. Ini kan hasil keringat saya sendiri…..”

ORANG ITU SEMAKIN KALAP.
“…..eeeh. Mau apa kalian? Jangan bilang saya penipu. Kalianlah yang telah menipu diri sendiri karena telah percaya pada saya. Lho, saya bukan pembohong. Saya telah menympaikan apa yang telah kalian amanatkan pada saya. Sungguh. Tak sedikit pun saya menyembunyikannya. Tapi kalau itu tidak terealisasi, ya, apa boleh buat. Emangnya dewan itu milik saya sendiri? Emangnya partai itu punya saya sendiri? Dan emangnya jabatan saya ini saya sendiri yang menentukan? Pemerintah? Tidak…. Saya hanya sedikit membeli peluang untuk bisa merasakan akan bagaimana rasanya bila saya sedikit punya kesempatan menduduki kursi ini. Tak ada hal lain lagi. Apa? Tidak adil? Memangnya ada keadilan di negeri ini? Jangan sok suci kamu…. Awww….!!! Siapa yang memukul kepala saya? Jangan anarkis, dong. Kita bisa bicarakan baik-baik persoalan ini. Secara kekeluargaan sajalah…. Awww….!!! Jangan pukul saya lagi…. Kita ini negara hukum….jangan main hakim sendiri, ya. Ini melanggar HAM, tau?! Boleh saja kalian ngomong dan demonstrasi. Tapi bukan begini caranya. Demo Crazy ini namanya. Gila? Hey, jangan bilang saya gila. Saya masih waras. Saya masih waras ! Oh,….jangan ambil kursi saya. Jangan ambil nyawa saya…. He, jangan mendekat. Ingat, dengan membunuh saya, berarti kalian telah membunuh banyak suara dari sekian puluh ribu jiwa masyarakat di negeri ini. Dan itu dosa, nyaho….. Dosaaaa…….!!! Tolong…., Tolooooooong !”