widget animasi

translate

Devolusi Perangkat Vital

SELALU ada waktu untuk melakukan pekerjaan yang "benar" dan "baik". Selalu tersedia waktu untuk melakukan "pekerjaan benar" dan "baik" dengan cara yang benar dan baik pula. Dan selalu disediakan kesempatan untuk membuat "kebijakan" bagi "kebajikan" untuk sesama makhluk dunia.

Kebijakan yang tidak membuahkan kebajikan adalah proses "disfungsi perangkat organik" dari "harkat kemuliaan" manusia. Harkat adalah derajad sedang kemuliaan adalah potensi. Potensi yang ditaburkan Tuhan ke dalam `hati´ manusia. Manusia bukanlah `sosok makhluk mulia´, namun ia diberikan potensi kemuliaan. Ia akan menjadi makhluk mulia ketika potensi kemuliaannya difungsikan, sebaliknya ia dapat menjadi makhluk yang hina ketika potensi kemuliaannya diabaikan.

Hati adalah "perangkat -vital" organ kemanusiaan-manusia, dimana terdapat potensi kemuliaan yang tersimpan di dalamnya. Di dalam potensi kemuliaan terdapat kemampuan untuk berlaku `bijak (wise)´. Dan ketika perlakuan bijak dilaksanakan, maka `bajik (goodness)´ dapat dirasakan oleh orang-orang yang tersentuh oleh taburan kebijakan yang dibuatnya.

Kebijakan bukanlah policy, karena kebijakan dilaksanakan oleh perangkat vital manusia yang bernama hati, dimana ketulusan dan keikhlasan bersemayam. Policy adalah produk dari serangkaian olah pikir yang digerakkan oleh energi `ambisi´ dan dikemas dalam bentuk strategi. Seperti yang pernah diajarkan, bahwa dalam kemasan "strategi (strategy)" terdapat siasat, yang di dalamnya juga ada kandungan "taktik (tactic)" dan di dalam taktik terkandung elemen "trik (trick)" atau bahasa awamnya pengelabuan.

Stategy orang yang berusaha tulus dan ikhlas adalah "Strategi untuk tidak berstrategi", karena dalam vibrasi keikhlasan tidak terkontaminasi oleh nada sumbang pengelabuan (tricky). Bagi pendidik yang ikhlas tidak perlu ada `strategi pendidikan´, karena mendidik adalah pekerjaan mulia yang memerlukan kelapangan dada. Bagi pemimpin yang ikhlas tidak perlu ada `strategi pembangunan´, kerena mensejahterakan rakyat adalah konsekwensi tanggung-jawab pengabdian diri sang pemimpin kepada Tuhannya.

Devolusi (devolution) adalah serangkaian proses degenerasi yang berlaku secara massal yang diawali oleh perubahan `kebiasaan mata (what I see)´, `kebiasaan mulut (what I say, what I eat and what I drink)´ dan `penerimaan telinga (what I hear)´ yang matang menjadi `persepsi (perception)´ hingga mampu merubah `perilaku (behavior)´ yang menyimpang dari hakekat, maksud dan fungsi penciptaan dirinya.

Jika burung beo, mampu mengucapkan selamat pagi atau good morning sebagaimana yang diajarkan tuannya itu namanya Evolusi. Perilakunya berubah ketika menyapa siapa saja yang ada dihadapannya. Ketika masyarakat harimau tidak berebut daging yang diberikan tuannya dan tidak berebut wilayah serta bertarung untuk memperebutkan siapa yang berhak menjadi raja rimba, maka ia mampu berlaku `mirip´ sebagaimana hakekat penciptaan manusia. Kedua binatang ini lebih beradab daripada generasi sebelumnya.

Ketika dalam masyarakat manusia, ada tatanan yang mengatur perebutan kekuasaan dan kekuatan maka fenomena ini disebut devolusi. Hakekat peradaban masyarakat manusia bukanlah siapa yang berhak menjadi penguasa, melainkan siapa yang "layak" menjadi "pemimpin (leader)". Dalam tata nilai masyarakat manusia beradab, seseorang tidaklah perlu mengikuti ukuran siapa yang "kuat (powerful)", melainkan siapa yang mampu memberikan "manfaat (usefulness)"

Devolusi menghasilkan generasi yang derajatnya lebih rendah (down-grade generation) dari induknya. Devolution is not only biological fallacy, but is the process of the tenancy of humanimalization! Demikian kata Gregory R. Mendoza

Bijak, bajik, tulus, ikhlas, pemimpin dan manfaat atau policy, strategi, kekuasaan dan kekuatan serta ambisi semuanya benar. Tidak ada yang salah dan tidak ada yang perlu disalahkan. Bukan saya benar, anda salah atau anda benar dan saya salah. Urusannya bukan terletak pada kecerdasan manusia atau kreatifitas dalam berbuat, melainkan pada tingkat kepekaan hati untuk merasakan koordinat posisi diri dan memahami ke-arah mana ia sedang menempuh jalan.

Tak layak melarang se-ekor katak untuk berhenti meloncat, karena sesungguhnya ia sedang berjalan. Tak layak melarang ayam untuk berkokok, karena sesungguhnya ia sedang menyapa dunia. Namun anda boleh tertawa ketika ada se-ekor Monyet yang sudah menggenggam pisang lalu dibuang karena menginginkan `banana´ yang dimakan se-ekor Monkey.

"Laku lampah tumapak ing sadengahing titah. Sitinggil tan keno rinekodoyo (perjalanan selalu berlaku pada setiap makhluk. Harkat-martabat tak dapat direkayasa)."

Indonesia Tak Butuh Iblis

DALAM kehidupan politik dan kebudayaan di Indonesia sering disebut-menyebut kata iblis, sebagaimana sering juga disebut-sebut kata setan, malaikat, tuhan, fir’aun, dajjal, atau hantu, monster, gendruwo, dsb.

Orang menyebut iblis atau setan biasanya tidak untuk menuding iblis atau setan itu sendiri, melainkan untuk memberi gelar kepada sesama manusia. Misalnya ada lima kategori manusia. Kategorisasi ini memakai idiom fiqih Agama, tapi tidak dimaksudkan debagai prinsip hukum, melainkan budaya.

Ada ‘‘manusia wajib’’, artinya orang yang orang lain tak mau kehilangan dia, karena dia baik dan dicintai.
Ada ‘‘manusia sunat’’, di mana orang merasa eman kalau nggak ada dia, meskipun tidak menggebu-gebu mempertahankannya.
Ada ‘‘manusia mubah’’ atau ‘‘manusia halal’’, yakni yang wujuduhu ka’adamihi, ada dia kita nggak untung, nggak ada dia kita nggak rugi.
Ada ‘‘manusia makruh’’, di mana orang merasa lebih baik nggak ada dia daripada direpoti olehnya.
Terakhir yang paling gawat: ‘‘manusia haram’’. Orang bersikeras agar dia tak ada, agar dia dijatuhkan dari kursinya, agar ia diadili dan dihukum, bahkan didoakan agar segera mati. Bahkan kalau ada orang mati, lainnya menyesal: “Kok bukan si Anu itu yang dipanggil Tuhan...”

Namun harus dicatat, ‘‘manusia wajib’’ di mata manusia, belum tentu sama di mata Allah. ‘‘Manusia haram’’ di pandangan manusia, belum pasti Tuhan berpandangan demikian.

Sesungguhnya sangat menarik untuk membicarakan iblis, lengkap dari perspektif ilmu fisika, biologi, teologi dan budaya. Misalnya bahwa suku cadang kemakhlukan kita ini sama dengan iblis, setan, malaikat, batu, dan apapun saja makhluk Tuhan. Hanya saja speed molekular-nya berbeda, komposisi dan aransemen keatomannya berbeda, sehingga karakter chromosome-nya juga lain, termasuk hak dan kewajiban yang diberikan oleh Penciptanya juga tak sama -- sehingga habitat dan perilaku, alias kebudayaan dan peradabannyapun berbeda. Yang paling menarik kali ini adalah bahwa ternyata kita di Indonesia sama sekali tidak butuh iblis....

Cobalah kita kuliti sejumlah perbedaan antara kita dengan iblis, umpamanya. Sebagaimana beda kita dengan binatang sangat jelas: kalau macan sudah makan kambing dan kenyang, maka ia bisa tidur damai dengan ratusan kambing, sampai ia lapar kembali dan memakan hanya seekor lagi seperti di-sunnah-kan olehNya.

Sementara kita, misalnya, meskipun sudah punya lima proyek besar, masih terus sanggup menyikat puluhan proyek lain. Manusia dipinjami kemerdekaan dan demokrasi, dan ia mengerjakannya belum tentu dengan kedewasaan dan nurani kemanusiaan, malah kebanyakan dengan nafsu dan unbounded posessiveness: rasa ingin memiliki yang tak ada batasnya. Tak ada puasnya!

Semoga rencana-rencana kekuasaan, melalui sekian banyak partai-partai politik, tidak bermuatan hal semacam itu. Kalau orang bertanya: partai politik itu ingin kebaikan atau kemenangan? Ataukah ingin kemenangan untuk memperjuangkan kebaikan? Kalau yang terasa dominan adalah napsu untuk menang, maka adanya muatan semacam itu sangat kita kawatirkan.

Semoga kemenangan partai apapun adalah kemenangan seluruh rakyat Indonesia. Kalau kemenangan partai adalah hanya kemenangan parpol itu sendiri, akan tetap celakalah nasib rakyat. Keserakahan, nafsu, rasa serba tak cukup, watak api -- itu jelas watak utama iblis yang diajarkan kepada manusia. Dan ajaran itu tidak hanya bisa merasuk ke jiwa Pak Harto misalnya, tapi juga bisa ke Wagimin, Megawati, SBY, Tukijo, Ical, Prabowo, organisasi dan kumpulan-kumpulan ormas, atau apapun. Bahkan niat baikpun bisa menjelma jadi nafsu.

Cukup banyak bukti bahwa di negeri ini kita tak memerlukan ajaran iblis lagi untuk ‘sekedar’ berlaku rakus kepada dunia. Sehingga, sebagaimana Adam melorot derajatnya dari sorga ke bumi, kitapun melorot izzah (kehormatan) kebangsaan kita dari kemewahan ke krismon dan kristal (krisis total). Kita kutuk penjarahan oleh rakyat sesudah sekian puluh tahun kita ajari mereka menjarah. Kita laknat kerusuhan oleh rakyat sementara terus menerus kita rusuhi hati mereka, pikiran mereka, telinga mereka, dengan kerusuhan mulut dan sistem budaya kita.

Iblis tidak pernah merasa dirinya benar, dirinya baik, dirinya suci. Sementara kita memiliki kecenderungan yang sangat besar untuk merasa benar, merasa baik dan merasa suci -- sehingga orang lain yang kita tuduh harus bertobat -- itupun kita larang ia bertobat. Padahal kita ketakutan setengah mati kalau ia tidak bertobat sehingga mengamuk.

Dalam hal melarang manusia bertobat, kita sama dengan iblis. Tapi dalam hal memahami konsep tobat, iblis lebih unggul dari kita. Kita tidak tahu bahwa pertobatan kepada Allah dipersyarati oleh keberesan masalah dengan sesama manusia. Artinya kalau punya hutang, harus bayar dulu; kalau bersalah, dihukum dulu oleh manusia, baru Allah membuka pintu ampunannya. Kita tidak tahu itu, sedang iblis tahu persis.

Iblis, sesudah menggoda manusia dan menjerumuskannya agar dibakar oleh kobaran api dari dalam nafsunya sendiri, berkata kepada Tuhan: “Wahai Tuhan, sesungguhnya aku sendiri takut kepadaMu...”.

Sementara pada kita sangat sedikit indikator bahwa kita takut kepada Tuhan. Kita berani mengabaikan pembelaan Tuhan atas rakyat kecil. Kita bisa mendustai mereka berpuluh tahun. Kita bahkan sanggup menyalurkan bantuan makanan kepada rakyat sambil mencopetnya. Kita tega mengumum-umumkan obsesi pribadi kita akan kekuasaan didepan rakyat yang sangat mengalami kesulitan hidup. Kita bisa dengan ringan menutup telinga bahwa bagi rakyat hanya tiga hal yang prinsip: hidup aman, sembako murah, bisa menyekolahkan anak.

Tentang presidennya siapa, silahkan mau Kirun mau Timbul ataupun Jokowi misalnya. Dalam hatinya rakyat berpedoman: yang penting bukan ‘siapa’nya, melainkan apa produk positifnya untuk kesejahteraan rakyat. Mohon bikin metodologi riset atau jajak pendapat yang bertanggung jawab terhadap kandungan substansial kemauan rakyat banyak, bukan hanya omongan beberapa puluh orang di sekitar kantor kita.

Iblis dan setan, sesombong-sombongnya mereka, setakabur-takaburnya mereka, seratus persen sadar bahwa mereka melakukan kejahatan dan perusakan. Mungkin karena itu tidak kepada iblis dan setan, melainkan kepada manusia, Tuhan memberi peringatan: “Janganlah engkau membuat kerusakan di muka bumi”, dan manusia menjawab dengan congkak: “O, tidak, yang kami lakukan ini adalah perbaikan...”
Kalau Tuhan menyebut “orang-orang yang membangun”, kita merasa itu pasti kita. Kalau Tuhan bilang “orang-orang yang merusak”, kita yakin merekalah yang dimaksud oleh Tuhan itu. Yang buruk pasti mereka, yang baik pasti kita.

Padahal manusia dijadikan mandataris kehidupan alam semesta dengan argumentasi bahwa manusia itu dholuman jahula. Lalim dan bodoh. Artinya, manusia sanggup menjadi pemimpin karena modal utamanya adalah rasa bersalah telah berbuat lalim, belum bisa menolong orang lain, sehingga ia senantiasa mendorong diri untuk berbuat sebaik-baiknya. Modal utamanya adalah sanggup merasa bodoh, tidak pinter, tidak unggul dari siapapun -- sehingga ia selalu berendah hati untuk belajar.

Last but not least, tidak ada ceritanya masyarakat iblis dan setan bertengkar satu sama lain, sebagaimana kita manusia selalu dan terus menerus bertengkar memperebutkan khayal masing-masing, mempertahankan benernya sendiri (kefir’aunan) terus menerus, memerlukan kehinaan saudaranya sendiri untuk mendapatkan kejayaan, membutuhkan kehancuran sesama manusia untuk memperoleh yang ia sangka kehormatan.

Walhasil Indonesia benar-benar tidak butuh iblis atau setan, sebab potensialitas keiblisan, kesetanan dan kefir’aunan kita, pada sejumlah hal, sudah melebihi setan, iblis dan fir’aun yang asli.

Mudah-mudahan saya keliru.

Kriteria Kepemimpinan

DALAM terminologi yang sederhana, wacana utama kriteria kepemimpinan sekurang-kurangnya harus melingkupi tiga dimensi: kebersihan hati, kecerdasan pikiran, serta keberanian mental.

Jika pemimpin hanya memiliki kebersihan hati saja, misalnya, tanpa didukung kecerdasan intelektual dan keberanian, maka kepemimpinannya bisa gampang stagnan.

Begitu pula sebaliknya. Jika pemimpin hanya memiliki kecerdasan belaka tanpa didukung kebersihan hati dan keberanian, maka jadinya seperti di 'menara gading' alias monumen yang bukan hanya tanpa makna, tapi juga nggangguin kehidupan rakyatnya. Apalagi, jika pemimpin hanya memiliki keberanian saja tanpa kebersihan hati dan kecerdasan, maka akan menjadikan keadaan semakin kacau dan buruk.

Sebenarnya, kriteria kepemimpinan sama persis dengan kriteria manusia biasa atau orang kebanyakan, Kalau omong tentang pemimpin, sebaiknya jangan muluk-muluk. Berpikir sederhana saja. Misalnya. syarat menjadi suami. Pertama, harus manusia.
Kedua, harus laki-laki. Baru yang ketiga, keempat, dan seterusnya.

Syarat suami harus manusia itu banyak tak diperhatikan orang, padahal jelas banyak suami berlaku seperti ia bukan manusia. Bertindak hewaniah kepada istrinya, juga kepada orang lain. Bukankah menjadi manusia itu sendiri saja sudah sedemikian sukarnya? Kenapa kita punya spontanitas untuk mentertawakan dan meremehkan bahwa syarat menjadi suami itu harus manusia?

Jadi, syarat menjadi Presiden atau Lurah itu ya sedehana saja: harus manusia. Sebab ratusan juta rakyat di muka bumi sengsara dalam berbagai era sejarahnya, gara-gara pemimpin negaranya berlaku tidak sebagaimana manusia, padahal semua orang sudah menyepakati bahwa ia manusia. Bukankah perilaku kebinatangan itu sebenarnya peristiwa jamak dan 'rutin' dalam konstelasi perpolitikan dan kekuasaan? Juga persaingan ekonomi?

Dulu saya bangga hanya ada istilah political animal dan economic animal, tidak ada cultural animal. Saya bersombong yang punya kecenderungan kebinatangan hanya pelaku politik dan ekonomi, kebudayaan tidak. Tapi ternyata itu salah. Cultural animal juga bukan main banyaknya. Termasuk di bidang kesenian, hiburan, informatika dll. Mungkin sekali termasuk saya sendiri.

Kemudian syarat menjadi suami yang kedua adalah harus laki-laki. Ternyata banyak suami berlaku tidak laki-laki. Ia jantan ketika di ranjang, tapi tidak dalam mekanisme politik rumah tangga, tidak di dalam pergaulan. Betapa banyaknya lelaki yang ternyata betina, yang berlaku tidak fair, curang, culas, suka mengincar, menyuruh bikin kerusuhan supaya nanti dia yang jadi pahlawan, merancang membakar gedung parlemen supaya bisa bikin dekrit, dan lain sebagainya.

Meskipun, dari sudut ideologi pembelaan kaum perempuan, saya tidak mantap dengan etimologi dan filosofi kebahasaan kita.

Kenapa orang yang jujur kita sebut jantan, yang pengecut kita sebut betina atau perempuan. Bukankah kejantanan yang dimaksud di situ bisa juga dilakukan oleh wanita?

Bisa saja ada lelaki betina dan perempuan jantan. Jadi yang dimaksud pemimpin harus laki-laki bukan dalam pengertian fisik, melainkan dalam pengertian kepribadian.

Tuhan Yang Maha Jowo

KALAU Anda sering bergaul dengan orang Luar Negeri, terutama auslander yang tergolong 'modern' dan 'rasional' - mungkin saja sering Anda sampai pada kesimpulan begini : "Pantas dulu kita bangsa Jawa ini gampang dijajah. Lha wong kita ini terlalu baik."

Terlalu 'baikan' sama orang. Sangat menyambut. Akomodatif. Suka menyuguh dan memberikan apa saja yang kita bisa kepada para tamu. Itu namanya "jowo". Kalau pelit, itu "ora jowo". Tentulah. Karena kita semua memang pengagum Tuhan, dan berusaha meniru sifat-sifatNya. Bukankah Tuhan Maha Jowo?

Bayangkanlah kalau Allah mengurangi jowoNya, misalnya hari ini Ia kurangi anugerahNya kepada Anda dengan mengambil mata atau telinga yang nempel di tubuh kita dan disimpan kembali di gudangNya.

Lha, ya begitulah, beberapa lama ini saya menemani tamu monco saya. Tak habis-habisnya saya nraktir, membelikan lurik, batik, berbagai sovenir, T-shirt, dan lain-lain. Sampai pada suatu hari, saya berdebat dengannya, akhirnya menemukannya sebagai seorang materialis sejati.

Materialis itu bukan dalam arti gila materi, tapi ia melihat seluruh kehidupan ini hanya sebagai materi. Ia menertawakan filsafat, tak percaya kepada jiwa dan mengenali nilai-nilai hanya sejauh menyangkut struktur keberadaan materi. Maka manusia dilihatnya hanya sebagai perut, dan segala uurusan politik hanyalah berkisar pada distribusi nasi. Maka ia fanatik kepada orang miskin dan 'sentimen' kepada orang kaya.

Saya mencoba berontak dengan menunjukkan kepadanya bahwa saya ini lebih melarat dibanding dia yang punya gaji tetap dan besar dan bisa sering tamasya ke luar negeri dan bisa pelit.

Maka kalau saya mentraktirnya ini itu, semata-mata karena filsafat hidup saya, kerena rasa sosial (bukan solidaritas rasional) dan karena nilai cinta kemanusiaan.
Nilai-nilai itu ternyata tak ada maknanya bagi materialisme yang menjadi tulangg punggung kehidupannya. Saya jadi anyel.

Saya katakan kepadanya bahwa rakyat Indonesia bisa bertahan hidup karena filsafat, karena ketahanan moral dan nilai-nilai kejiwaan. Kalau tak punya itu, dengan takaran materi yang amat rendah, mereka sudah hancur hidupnya. Dengan nilai-nilai itu mereka tetap sanggup memanusiakkan dirinya di tengah derita kemelaratan.

Karena si monco ono memang tak tahu banyak tentang manusia Indonesia, maka dia tak mampu membantah argumentasi saya.

Saya lantas merasa iba, kasihan, dan segera saya traktir lagi.

Tak Ada Air Yang Tak Bening

NEGARA menghendaki stabilitas. Masyarakat menghendaki ketertiban.
Sejarah menghendaki keamanan. Jiwa menghendaki ketenangan. Hati menghendaki keheningan. Mental menghendaki endapan. Dan seluruh kehidupan ini, di ujungnya nanti, menghendaki ketentraman, keheningnan, kemurnian. Karena itu, agama menganjurkan kembali ke fitri.

Kita berdagang, berpolitik, berperang, bergulat, bekerja banting tulang, bikin rumah, bersaing dengan tetangga. Yang tertinggi dari itu semua dan yang paling dirindukan olh jiwa, adalah "air bening hidup".

Hidup bagai gelombang samudera. Hidup bergolak. Segala pengalaman perjalanan Anda adalah arus air sungai yang mencari muaranya.

Masa muda melonjak-lonjak. Tapi masa muda berjalan menuju masa senja. Dan masa senja bukanlah lonjakan-lonjakan, melainkan ketenangnan dan kebeningan.

Maka, lewat naluri ataupun kesadaran, setiap manusia mengarungi waktu untuk pada akhirnya menemukan "air bening".

Ada orang yang dipilihkan oleh Tuhan atau memilih sendiri untuk mengembara langsung ke gunung-gunung dan menemukan sumber air murni. Orang lain menunggu saja saudaranya pulang dari gunung untuk dikasih secangkir kebeningan. Orang yang lain lagi menjumpai dunia adalah kotoran, maka ia ciptakan teknologi untuk menyaring kembali air itu dan menemukan kebeningannya.

Sementara ada orang yang hidupnya menyusur sungai, parit-parit kumuh, got-got, kubangan-kubangan. Sampai akhir hayatnya tak mungkin ia memilih sesuatu yang lain, karena mungkin tak punya kendaraan, tak punya kapal, bahkan tak punya sendal untuk melindungi kakinya dari kotoran-kotoran.

Ketidakmungkinan itu mungkin karena memang 'dipilihkan' oleh Yang Empunya Nasib, tapi mungkin juga didesak oleh kekuatan-keuatan zaman yang membuatnya senantiasa terdesak, terpinggir dan tercampak ke got-got.

Bagaimana cara orang terakhir ini menemukan air bening?

Di dalam sembahyangnya, permenungannya, penghayatannya, kecerdasannya serta kepekaan hatinya. Ia tahu tidak ada air yang tak bening. Semua air itu bening. Tidak ada "air kotor", melainkan air bening yang dicampuri oleh kotoran.

Dengan menemukan jarak antara kotoran dengan air bening, tahulah ia dan ketemulah ia dengan sumber kebeningannya. Ia terus hidup di got-got, dan justru kotoran-kotoran itu makin menyadarkannya pada keberadaan air bening dalam got-got.

Yang ingin saya tanyakan, adakah makna hal itu dalam kehidupan Anda?

Kemandirian

KERETA Purbaya mbludag penumpangnya. Ketika itu 'bau' lebaran memang belum usai. Orang tumpah-ruah sampai ke daerah pintu masuk. Namun Tuhan Maha Baik. Saya dapat tempat duduk. Ada toilet yang tak beres. Air luber sampai keluar sehingga tempat sekitar sebuah pintu masuk jadi becek dan menjijikkan. Belum lagi 'aromannya'

Disitulah saya berdiri sambil berpegangan daun pintu. Sendirian. sebab orang lain memilih berdesakan ditempat lain dari pada 'berdomisili' di tempat seperti itu.
Tetapi pada dasarnya saya tak bersedia untuk terpaksa berdiri selama '6 jam' dari Yogja ke Jombang. Saya mau berdiri sepanjang perjalanan, tetapi tak mau terpaksa. Maka saya harus mencari semacam makna atau alasan kenapa 'perjuangan berdiri' ini mesti saya lakukan. Dengan demikian 'kalu saya lelah' itu bukanlah kelelahan oleh keterpepetan keadaan, melaikan karena perjuangan.

Tapi apa makna? Melatih otot dan ketahanan kaki? Belajar sabar? Menguji stamina? Memakai keadaan itu untuk mengolah pemikiran tentang sesuatu hal, misalkan kenapa khalayak ramai jarang yang ingat bahwa negara kita punya utang yang luar biasa banyaknya.

Nah, sampai Prambanan, perjuangan saya adalah menentukan apa tema perjuangan yang sebaiknya saya lakukan. Kemudian Klatenpun menjelang. Dan saya diperintah oleh seorang Ibu tua untuk pindah tempat agak ke dalam menjauhi pintu. Kaget saya, tentu saja. Sedang Bupati Jombang pun belum tentu -punya nyali- memerintahkan sesuatu pada saya.

Rupanya Ibu itu mempersiapkan sesuatu. Ia, tampaknya, seorang bakul. Mungkin ia 'mracang', dan kulakan macam-macam di pasar Beringharjo atau entah dimana. Ada tiga paruh karung entah berisi apa di sandingnya. Beberapa onggok kayu bakar.
Dua tumpukan kardus. Belum lagi semacam tenggok yang, saya lihat, segera di gendongnya dengan jarit di punggung.

Tentulah ia akan turun di Klaten. Saya bilang saya tak usah pindah, nanti saya bantu menurunkan itu semua dari kereta. Tapi sang Ibu, atau lebih tepat Nenek, begitu acuh tak acuh terhadap tawaran saya. Ia bersikeras agar meminta saya bergeser ke tengah. Dan sebelum kereta berhenti, ia lemparkan karung itu satu persatu, juga kardus dan kayu. Sedemikian rupa sehingga satu karung sudah tertinggal di sebuah gerbong terakhir, karung kedua di gerbong tengah dan seterusnya. Baru ketika kemudian kereta berhenti, ia turun dengan tenggoknya, lantas berjalan menyusuri rel sebelah menghampiri barang-barangnnya yang tertinggal.

Jelaslah bagi saya, nenek itu sedang menerapkan kemandirian, di setiap detik dan jengkal ruang kehidupannnya. Mripatnya yang acuh kepada saya tentulah sebenarnya berkata, "Kalau memang mau membantu, kenapa cuma menurunkan barang-barang ini dari kereta?"

Nenek udik itu memang lebih rasional dan independen dibanding seorang dekan yang ketika pagi-pagi ia sampai di kantor kerjanya berkata kepada bawahannya: "Ambil kan tas saya di mobil, ini kuncinya!"

Ia juga lebih tinggi derajatnya dibanding sementara pejuang rakyat yang canggih membikin proposal tentang orang-orang semacam nenek ini, untuk diajukan dan ditukar dengan dana milyaran rupiah, dan untuk itu ia peroleh persentase untuk beli mobil atau peralatan rumah dengan segala kenikmatannya.

Tapi nenek itu tak akan pernah berkata, "Tak usah menolong saya. Mulailah saja selenggarakan keadilan ekonomi sehingga di negeri kaya raya ini tak usah ada seorang nenek bekerja seperti saya.."

Nenek itu tak akan pernah berkata demikian, meskipun para cendekiawan atau para pejuang yang mewakili nasibnya juga belum tentu akan berkata demikian.

Allah Kita Engkau-kan

DIDALAM kehidupan sehari-hari di muka bumi, Allah kita akui adaNya, namun belum tentu kita posisikan sebagai Pihak Pertama dalam konsentrasi dan kesadaran hidup kita.

Allah belum kita jadikan Pembimbing Utama hidup kita.
Allah belum kita jadikan Panglima Agung yang setiap instruksiNya kita patuhi dan setiap laranganNya kita jauhi.
Allah masih belum kita letakkan di tempat utama dalam urusan-urusan kita, firman atau ayat-ayatNya belum kita jadikan wacana utama dalam menjalani kehidupan.

Mungkin karena kita masih belum bisa berpikir rasional, atau mungkin kita belum memperoleh informasi yang cukup untuk membawa kita kepada betapa pentingnya Ia, atau justru karena kita sudah merasa pandai dengan kesarjanaan kehidupan kita.

Pada umumnya Allah masih kita letakkan sebagai pihak ketiga yang kita sebut 'Dia' dan sesekali saja kita sebut, utamanya ketika sedang susah dan kepepet oleh suatu masalah.

Jangankan lagi untuk mencapai kesadaran ke-Esa-an dimana pada konsentrasi batiniah terdalam kita menyadari bahwa pada hakekatnya kita ini tidak ada dan semata-mata hanya 'di-ada-kan' olehNya. Sehingga pada konsentrasi yang demikian kita melebur dan lenyap, sampai akhirnya yang benar-benar ada, yang sejati ada, hanya Allah. Dan pada saat itu Allah adalah 'Aku', karena 'aku' yang makhluk ini sudah lenyap sirna bagaikan laron yang terbakar oleh dahsyatnya sinar matahari.

Adapun didalam Ikrar Husnul Khatimah itu kita memposisikan Allah sebagai 'Engkau'. Kita sadar bahwa kehidupan kita ini berada di hadapanNya. Allah bukan 'di samping' kita atau 'di sana', melainkan tepat di depan kita.

Sesungguhnya kesadaran meng-Engkau-kan Allah merupakan milik sehari-hari setiap Muslim yang Mu'min. Di manapun kita berada, apapun yang kita lakukan, Allah tidak pernah berada 'di sana', melainkan senantiasa berada di hadapan kita.

Bukankah jika melakukan shalat kita berupaya untuk menyadari seolah-olah kita sedang melihatNya di hadapan kita, dan kalau kita tidak mampu melihatnya maka Ia yang melihat kita dari hadapan kita sendiri?

Dengan demikian Ikrar Husnul Khatimah adalah suatu peristiwa kesadaran dimana Allah bukan sekedar 'Ia' yang 'di sana' yang berposisi sebagai pelengkap penderita dari program-program karir sejarah kita. Melainkan di hadapan kita, dan merupakan konsern utama kehidupan kita.

Haji Beneran dan Rasa Haji

INI adalah tulisan tentang haji dari seorang yang belum pernah naik haji, bahkan belum pernah sekedar mendapat oleh-oleh air zamzam. Oleh karenanya, penulis memohon maaf atas kelemahan mendasar dari tulisan ini.

Taraf saya masih semacam Haji Bawakaraeng. Gunung Bawakaraeng ada di Sulawesi. Pada musim haji, sejumlah orang Islam mendatanginya dan melakukan sejumlah ritus seolah-olah mereka sedang benar-benar menjalankan ibadah haji.

Tentu saja secara ‘syar’i, yuridis formal’, mereka tak bisa dianggap telah berhaji. Tapi sekurang-kurangnya mereka memperoleh kemungkinan ekonomi untuk sungguh-sungguh berangkat ke Tanah Suci yang asli.

Alhamdulillah, Islam punya kecenderungan besar untuk memudahkan pemeluk-pemeluknya. Kalau tak sanggup berdiri dalam menjalankan shalat, boleh duduk. Kalau tak bisa duduk, silahkan berbaring. Begitu juga haji.

Sementara ini ‘pangkat’ saya barulah penggembira, ikut bahagia ada fenomena peribadatan bernama haji. Ikut senang banyak orang berbahagia naik haji. Ikut bergembira dan menginternalisasikan — secara ‘platonis’ — ide-ide, gagasan, metode, tarikan, modus, serta pengembaraan rohaniah yang sedemikian total mewahidkan tiga dimensi esensial kehidupan manusia: kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

Haji adalah — atau kita sebut: semestinya — puncak totalitas penyatuan antara tiga dimensi itu, yang diperjuangkan oleh kehidupan manusia. Haji lebih dari sekedar efek dari kesanggupan ekonomi seseorang untuk berangkat ke Arab Saudi: juga lebih dari sekedar ‘romantisme pengembaraan kultural’. Bukan aksesori keperluan politik, status dan kebanggaan sosial.

Adapun saya, tergolong di antara ratusan juta ummat Islam yang belum atau tidak pernah naik haji, sehingga hanya bisa ‘menabuh beduk’ dari kejauhan: Betapa benar mauatan inisiatif-Mu ya Allah. Betapa baik kandungan anjuran-Mu, ya Allah. Labbaika allahumma labbaik!

Nyayian cinta, lagu-lagu rindu, yang dilantunkan oleh jutaan hamba-Mu di tanah suci pada hari-hari haji, ditampung oleh ribuan malaikat dan diangkut ke langit, diserahkan kepada-Mu dengan deraian air mata syukur. Adapun Engkau abaikan kami-kami yang belum atau tidak sanggup berangkat ke rumah-Mu?

Padahal rasa rindu kami terlebih-lebih dari berlipat-lipat karena jarak ketidakmampuan kami. Padahal kalau saudara-saudara kami di tanah suci-Mu meneriakkan nama-Mu, kami memekikkannya. Di dalam kejauhan jarak ini tangis kami adalah hujan sunyi yang hanya Engkau belaka yang sanggup mendengarkannya. Jadi bolehlah kiranya dari rumah melarat di kampung kami sendiri, kami mendendangkan lagu Labbaika allahumma labbaik! Labbaika allhumma labbaik! Labbaika la syarika laka labbaik!

HAJI DAN ''TARIAN'' SUNNATULLAH

Haji adalah sebuah kemewahan ekonomi, bagi kita yang bertempat tinggal jauh dari Tanah Suci. Tatkala para penempuh haji berpakaian ihram, mereka ‘melompat’ naik ke taraf transendensi budaya: menanggalkan status sosial, kedudukan, tingkat-tingkat jabatan dan profesi. Metode itu membawa manusia kembali ke kefitrian, ke otentisitas dan kesejatian dirinya.

Pada pengalaman berhaji, mungkin seseorang menjadi mengerti bahwa jati diri bukanlah to be pada tataran-tataran sosial-budaya, sebab itu semua hanyalah cara atau jalan menjadi seseorang, sesuatu atau ‘aku’ yang lebih sejati, lebih kualitatif, atau lebih berorientasi ke universalitas nilai ‘Aku primer’ manusia bukan ‘aku pedagang’, ‘aku partai’, ‘aku status sosial’: sebab puncak dari semua jenis ‘aku’ tersebut pada akhirnya adalah aku manusia.

Di dalam Islam, ‘aku manusia’ meningkatkan dirinya menjadi aku ‘Abdullah’ atau ‘aku hamba Allah’ kemudian ‘aku khalifatullah’ atau ‘aku hamba Allah’ kemudian ‘aku khalifatullah’ atau ‘aku wakil Allah’, kemudian meningkat atau lebih menginti lagi.

Ketika mereka berputar mengelilingi Ka’bah, yang mereka lakukan seolah-olah adalah tarian sunnatullah: gerakan pada inti atom atau sel, atau koreografi bintang-bintang, planet dan satelit; yang pada perspektif kesadaran local manusia hal itu menciptakan ikhtilafillaili wannahar, pergantian siang dan malam.

HAJI DAN ESENSIALISASI DIRI

Dan tatkala para hamba Allah itu bersujud, yang mereka sembah bukanlah Ka’bah, melainkan merupakan simbolisasi ahad dan wahid. Ahad itu satu-Nya Allah, dan wahid itu penyatuan semua kuantitas indidividu manusia dan keummatan manusia, serta semua sistem kualitas nilai dirinya, pada satu mata air, yang menjadi sumber dan sekaligus muara segala sistem eksistensi.

Proses penegakan ‘ahad’ dan penempuhan ‘wahid’ itu disebut tauhid. Proses penyatuan. Menyatukan diri dengan Allah. Proses penyatuan diri dengan Allah itu ditempuh melalui metode transdimensi: status sosial, kedudukan budaya, bahkan pada akhirnya unsur biologis manusia harus ditanggalkan, karena ia bersifat sangat relatif dan temporer.

“Barangsiapa mendambakan kesatuan dengan-Ku, hendaklah ia berbuat baik….”, dalam pergaulan sehari-hari, melalui lembaga, partai, birokrasi dan apapun, meski dalam bentuk yang seolah-olah ‘non-agama’. Artinya, pertemuan dengan Allah tidak dalam keadaan biologis dan budayawi, melainkan ketika kita telah menjadi cahaya rohani, yakni telah menjadi inti perbuatan baik itu sendiri.

Ibadah shalat, puasa dan haji, juga landasan syahadat — kesadaran dan ikrar eksistensi manusia — adalah juga metode pengatmosfiran diri menuju kesadaran ‘ahad’ dan ‘keberadaan’ ‘wahid’. Namun peristiwa haji adalah kemewahan, adalah puncak dari segala kemungkinan semacam itu.

Dengan itu semua saya membayangkan bahwa menjalankan ibadah haji adalah kesempatan ‘mencicipi’ peristiwa pencintaan langsung dengan Allah, melalui sejumlah tahapan sublimasi, kristalisasi dan universalisasi dan esensialisasi diri.

Bermilyar-milyar kekasih Allah adalah penari-penari dan Allah adalah pusat tarian agung di mana Ia berkata — “Kalian kekasihku, semua kalian kekasihku, mendekatlah, mendekatlah kemari, berkerumunlah di seputarku. Akan kutaburi wajah kalian dengan cahaya sehingga seluruh keberadaan kalian akan bergelimang cahayaku. Dan nanti akan kubukakan wajahku, agar kalian melihat betapa indahnya Aku….”

Dengan demikian mestinya haji adalah produk dari proses kualifikasi diri seeorang muslim yang ditempuh melalui rutinitas intens peribadatan-peribadatan yang lain, seperti shalat, zakat, puasa, dan — tentu saja — pada mulanya ikrar syahadatain.

Syahadat memfokuskan diafragma idealisme hidup. Shalat mencahayai kejernihan. Obyektivitas akal, keseimbangan mental, ketulusan hati dan ketenteraman jiwa. Zakat melatih kesadaran bahwa “susu kambing harus diperah untuk anak-anaknya atau makhluk lain”, karena dalam harta yang kita miliki terdapat milik orang lain. Puasa membuat manusia jadi pendekar kehidupan. Dan haji adalah madu dari semuanya.

Madu bukan makanan bukan minuman: di antara keduanya. Haji pun adalah titik sublim dari seluruh proses peribadatan dan tradisi baik manusia. Maka apakah haji seseorang mabrur atau tidak, jawaban pastinya ada di tangan Allah, karena dia yang punya otoritas tunggal untuk menerima atau menolak.

Tapi gejala kemabruran haji seseorang, bayangannya, pantulannya, barangkali bisa dijumpai pada output sosial seorang haji. Pertanyaan itu sederhana: apakah sesudah haji, ia adalah madu bagi tetangga-tetangganya, bagi orang lain, bagi masyarakat, bangsa dan negara?

‘Menjadi madu’ itu punya kemanfaatan sosial, produktif dan kreatif bagi kemaslahatan umum. Dalam hal ini saya tidak bersedia ‘ngrasani’ tentang kualitas madu haji-haji kita. Kaum haji adalah tingkat manusia yang semestinya paling pandai bercermin diri.

HAJI DAN KESUSAHAN

Tetapi dengan perspektif itu kita masing-masing bisa kembali mengevaluasi. Misalnya seberapa jauh atau seberapa dalam pengalaman haji seorang merupakan peristiwa agama. Dan seberapa jauh ia ‘hanya’ merupakan peristiwa sosial.

Kalau seorang ‘gugup’ menaruh gelar haji di depan namanya, ia semata-mata kasus sosial, bukan kasus agama. Apalagi kalau berhaji diinstrumentalisasikan untuk kepentingan politik pribadi, untuk aksesoris kultural, atau untuk menambah ‘peci’ reputasi.

Kita yang naik haji dengan fasilitas mewah, tentu identitas dan ragam pengalaman batin kita akan kalah dengan dibanding nenek moyang kita yang berhaji berbulan-bulan dengan kapal. ‘Penderitaan’ dalam perjalanan haji secara psikologis bias merupakan ‘asset’ dari kualitas penghayatan ibadah haji, meskipun agama tidak menganjurkan agar Anda hidup untuk mencari penderitaan.

Tetapi saya tidak tahu apakah kalau penderitaan para jamaah haji itu ‘disengaja’ oleh berbagai keputusan birokrasi resmi perjalanan haji — dari standar harganya yang makin tidak meringankan hingga jenis-jenis korupsi kecil-kecilan yang besar yang lain — akan membuat para birokrat kita memperoleh pahala. Hanya karena tindakan mereka bisa memungkinkan intensifikasi penghayatan kehajian para jamaah.

Tetapi saya memang pernah mendengar isi pidato birokrat haji: “Kalau saudara-saudara mengalami kesusahan-kesusahan selama proses akan naik haji, ambillah hikmahnya, karena di Tanah Suci nanti akan ada kesulitan yang lebih besar dan serius….”

HAJI DAN KIAI

Kadar peristiwa haji sebagai pengalaman agama dan pengalaman sosial biasa, mungkin bisa kita cari indikatornya juga dari makna sosiologi haji dengan kiai.

Ada ratusan ribu haji dan kita bisa ‘melupakannya’, sementara ada tidak banyak kiai namun kita tak bisa melupakannya. Secara kultural kiai lebih ‘berwibawa’ dan lebih menjanjikan kualitas hidup dibanding haji. Padahal haji adalah produk agama, sementara kiai adalah produk masyarakat.

Kalau seseorang disebut haji, itu hanya menginformasikan bahwa ia pernah melakukan ibadah haji ke Tanah Suci. Tapi kalau seseorang disebut kiai, ada berbagai dimensi yang dikandungnya: kesalehan, kepandaian, kealiman, kepribadian, dan mungkin juga kepemimpinan atau kapasitas-kapasitas fungsi dan reputasi sosial tertentu, yang mungkin sama sekali tak terasosiasikan ketika seseorang disebut haji.

Kenapa secara sosiologis haji ‘kalah wibawa’ dibanding kiai? Kenapa syarat dan konvensi keulamaan seseorang lebih diwakili idiom kiai dibanding haji? Kalau disebut H. Bur, tak begitu terdengar di telinga. Tapi kalau ditambah menjadi KH. Bur, baru orang mendongak. Kenapa?

Mungkin karena pada umumnya pengalaman haji berposisi diskontinyu dan mungkin irrelevan dengan tahapan-tahapan peningkatan kualitas kepribadian seseorang melalui proses Islamisasi diri dalam kehidupan nyata. Mungkin.

Rupiah dan Dajjaliyah

TULISAN ini tidak mengupas soal gejolak rupiah. Saya belum gendheng. Bukan saja karena saya bukan ahli ekonomi. Bahkan benar-benar saya tidak mengerti ekonomi. Pahamnya saya kasih duit sepuluh ribu rupiah, dapat sebungkus rokok.

Yang saya lakukan justru menyodorkan sejumlah paket kepada sampeyan, koen, peno, ndiko, riko, panjenenganipun maupun awakmu, untuk dirasani, digunjing-gunjingkan di warung, didiskusikan, kalau sempat.

Kalau tidak ya biarkan saja, wong diskusi sampeyan-sampeyan ini tidak akan memperkuat atau memperlemah kekuatan bargain rupiah terhadap dolar maupun terhadap mata uang kerajaan Ratu Bulkis sekalipun.

Meskipun sampeyan diskusi sampai mblenek dan bengok-bengok sampai tenggorokan mencolot, rupiah akan tetap dengan iramanya sendiri, dimana kaitannya dengan sampeyan hanyalah bahwa sampeyan ini terkena akibatnya. Di negeri dan di dunia ini sampeyan bukan subjek, melainkan objek. Sampeyan jadi subjek hanya dalam menentukan hal-hal remeh-remeh, serta dalam kosmos mimpi sampeyan sendiri.

Hanya saja saya jamin rupiah tidak akan sampai ke posisi mata uangnya Ashabul Kahfi, yang tertidur selama 309 tahun sehingga ditertawakan orang di seluruh pasar dunia tatkala hendak dipakai untuk menjadi nilai tukar.

***

Agar tulisan ini tidak terkesan bertele-tele -- layaknya ketika kita berurusan dengan birokrasi-- maka paket yang saya sodorkan itu misalnya begini.

Pertama, kalau mau tanya soal grafik “harga diri” rupiah di tengah dunia persilatan ekonomi global — jangan hanya temui Pak Hatta Rajasa, Pak Agus Martowardjojo atau yang mpunya kuasa di negeri "tercinta" ini. Jangan pula malah menanyakan ke Majelis Ulama atau Lajnah I’lai Darrojati Rubiah organisasi Islam manapun.

Tanyakan juga kepada Kepala Negara Dajjal yang batas kekuasaannya tidak dihalangi oleh garis perbatasan geografis dan politis apa pun.

Dajjal bukan dunia fantasi. Bukan science fiction. Bukan mitologi. Bukan klenik. Bukan metafora bahasa agama — meskipun memang sampeyan perlu shalat kasyful hijab dua rakaat untuk memohon berjumpa dengan Baginda Sulaiman ‘alaihissalam — untuk mendapatkan informasi dan wacana mengenai tugas-tugas dan strategi global Dajjal di bumi.

***

Kedua, terbanglah juga ke kantor-kantor rahasia negeri dan millennium israiliyat, yang berpusat justru tidak di Timur Tengah yang ribut melulu di dunia maupun akhirat. Melainkan di balik meja-meja dan di bawah taplak-taplak kantor pemerintahan negara adikuasa, semi adikuasa, maupun yang rela ataupun tak rela menjadi pekatik-pekatik dari keadikuasaan mereka.

Anda tidak cukup hanya berpikir ada spekulan, ada petualang, ada kecurangan-kecurangan tersembunyi di mana negeri-negeri Asia Tenggara di-plekotho kali ini, sehingga -- si Bung Karno kecil -- Mahathir Muhammad yang berani gagah itu menantangnya. Harus diperjelas piranti lunak dan piranti keras daulah mereka di muka bumi ini, yang tidak pernah disebut-sebut oleh koran dan segala macam media massa.

***

Ketiga, kita digangguin dan dirongrong dari luar, tapi kita juga mengganggu dan merongrong diri kita sendiri.

Kita ikut mengizinkan konglomerasi sampai ke titik sangat optimum, yang hampir sama sekali tidak memungkinkan penataan kesejahteraan nasional yang adil dan maksimal. Kemudian di-kemplang dengan tak bisa dielakkannya milik-milik mereka ke mancanegara.

Untung Tuhan bikin alam negeri ini kaya-raya, termasuk “kearifan kultur kemiskinannya di antara rakyat” sedemikian rupa sehingga masih bisa dihindarkan situasi collapse nasional.

Itu pun sesungguhnya kita masih memiliki sangat-sangat banyak warisan harta dari tokoh nasionalis zuhud yang menjadi kekasih pertama bangsa Indonesia. Tanyakan kepada tetanggamu hal-hal mengenai Dana Ampera (jangan dijerumuskan oleh istilah “Dana Revolusi” yang memang dipasang untuk mengelabui pengetahuan dan perhatian Anda).

Sekurang-kurangnya cari tahu siapa itu yang rampal untune di sebuah kota kecil di tengah-tengah sana gara-gara bersumpah seperti “Bilal” di depan Umayyah — tidak akan bersedia melepaskan warisan yang (sebagian) diamanatkan ke genggaman tangannya untuk dibagi 60% untuk “penodong resmi”-nya dan hanya 40% untuk rakyat kecil.

***

Panjang kalau saya teruskan. Akan lebih afdhol jika tulisan ini saya persingkat.

Paketnya saya tambahi satu lagi saja: bagi orang-orang yang tidak begitu punya rupiah seperti saya dan sampeyan, naik turunnya maqam rupiah sebenarnya akan berakibat mirip-mirip saja. Rupiah naik kita yang menderita. Rupiah turun ya menderita.

Pokoke bekupon omahe doro, melok Kliwon tambah sengsoro.

Champion Of Life

AKU jatuh hati pada Indonesia. Tanah air alunan balada antagonis-protagonis yang harmonis. Tak peduli apakah nenek moyang mereka adalah Ibu Peradaban Dunia ataukah raja dan rakyat dungu yang bisa dijajah ditipu diperdaya oleh sekumpulan satpam VOC.

Biarin apakah mereka berasal usul dari Negeri Atlantis, Sunda Land, atau turunan Nabi Sis ketika darah istrinya dirasuki Iblis. Tidak urusan apakah sejarah manusia Nusantara lebih tua dibandingkan dengan Yunani kuno, Mesir kuno, Inka-Maya, Mesopotamia, sehingga juga jauh lebih tua daripada Ibrahim yang menurunkan Yahudi dan Arab yang kini sedang menguasai dunia.

EGP, apakah mereka sedang dilanda epidemi peracunan otak dua millenium, penipuan global yang berlangsung sejak lahirnya Isa Al-Masih, dilanjutkan 37 sesudah penyaliban beliau, serta disempurnakan tiga abad silam sesudah Revolusi Industri. Pertengseng apakah benar "kasepuhan" nenek moyang Nusantara ini sengaja dikubur disembunyikan oleh pemenang sejarah dunia modern.

Nggak patheken juga apa mbah-mbah buyut mereka dahulu kala merupakan perintis "10 pilar peradaban": biangnya peradaban pertanian bumi dan kemaritiman laut, bikin password pemindah hujan, penyusun awan, dan penolak rudal, impor logam dari Mars dan Neptunus untuk bikin keris, teknologi penerbangan frontal anti-gravitasi, penemu bahan adiksi-adiksi dari antara gunung berapi dengan laut selatan, 41 level santet, yang anak-cucunya rindu trap-trap sawah pegunungan hingga bikin piramid. Atau apapun saja.

Juga biarkan saja apakah Maha (Perdana) Menteri Gadjah Mada dengan ideologi ambeng-nya jauh lebih demokratis dibandingkan dengan "'tumpeng" NKRI yang berlagak demokrasi tapi rakyatnya tak punya daya kontrol apa pun terhadap tipu daya nasional para pemimpinnya. Pun tak usah disesali kenapa Majapahit bikin bangunan keraton dari kayu, sehingga hancur luluh tenggelam oleh luapan lumpur Canggu antara Sidoarjo dan Mojokerto.

Go to hell with simpang siur sejarah. Wali Songo pun sekarang semakin digugat-gugat eksistensi historisnya, karena "iman" metodologis-historis kita tidak kepada babad, legenda, folklore, atau dongeng. Toh, sekarang para EO menyibukkan masyarakat untuk menziarahi Wali Sepuluh: Wali Sembilan plus Gus Dur, sementara Hadlratus-Syaikh Hasyim Asy'ari kakek beliau dan Kiai Wahid Hasyim bapak beliau sedang dipertimbangkan apakah termasuk wali atau bukan. Bahkan biro-biro travel sudah melantik Wali Songo Jawa Timur. Jadi Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, tidak termasuk. Dicari wali-wali lain di lingkup Jawa Timur untuk disembilan-sembilankan.

Aku jatuh hati kepada Indonesia. Sebagian rakyatnya yang tidak bobrok berpendapat, Indonesia sedang bobrok-bobroknya. Kenyataannya tidaklah bobrok, karena kebobrokan tidak mengerti kebobrokan, kegelapan tidak menyebut dirinya kegelapan.

Para penganut aliran kebobrokan berteriak cemas: "Bangsa Indonesia harus bangkit!" Sementara itu, yang paling bobrok berpikir sebaliknya: "Kita sudah bangkit, bahkan sedang menikmati ninabobo dunia internasional yang menganugerahi kita 'Award of Kebangkitan'."

Di fajar hari, ibu-ibu sudah siap di pasar ketika presiden masih tidur. Ada yang berfilsafat: rakyat yang baik adalah yang rajin salat subuh, yang produktivitasnya dimulai sejak sangat dini. Tapi ada yang memelesetkan: subuh itu berwarna hijau, karena subuh adalah Islam.

Presiden dan pemerintah jangan rajin salat subuh, supaya wajahnya tak jadi hijau, seperti tahun-tahun terakhir Soeharto. Dunia tidak suka Indonesia berwarna hijau dan pakai peci. Untuk Indonesia, Islam mesti hijau lapuk, pemeluknya harus bodoh, kumuh, brutal, dan nutrisi rendah. Meskipun demikian, tampil modern dan mewah boleh juga, asalkan hipokrit dan permisif.

Terserah. Yang pasti, jangan suruh rakyat Indonesia bangkit. Mereka tiap hari sudah bangkit, karena tiap hari jatuh. Kejatuhan adalah parameter utama rakyat dalam mengukur setiap pemerintahan yang menimpakan kepada mereka musibah-musibah. Seberapa kadar kejatuhan rakyat pada penguasa yang ini, yang itu, di zaman kerajaan maupun republik. Rakyat Indonesia adalah pakar kejatuhan, maka juga Pendekar Kebangkitan, yang mampu bangkit meskipun tanpa kebangkitan.

Maka bernama bangsa garuda, meskipun ada yang mengejeknya sebagai bangsa emprit. Tak apa. Emprit jasadnya, garuda jiwanya. Garuda memperoleh kelahiran kedua pada usia sekitar 40 tahun dengan terlebih dulu melakukan penghancuran atas paruh dan kuku-kukunya, yang kemudian, bagi yang lulus: tumbuh paruh sejati dan kuku sejati. Sebagaimana garuda terbang ke gunung-gunung batu untuk mematuki dan mencengkeram batu-batu itu sampai paruh dan kukunya tanggal --bangsa Indonesia hari ini juga sedang riang-riangnya menghancurkan paruh dan kukunya sendiri.

Garuda bangkit dan terbang, dengan 17 helai sayap dan 8 helai ekor, angka hari kemerdekaan 17 Agustus 1945. Andaikanpun Indonesia merdeka pada tanggal 1 bulan 1, ia tetap jagoan dan sanggup terbang dengan sayap sehelai. Bangsa tertangguh di muka bumi ini, sanggup bergembira dalam derita, mampu melangkah pasti di jalan ketidakpastian, ringan tertawa di kurungan rasa bingung dan sengsara.

Aku tergila-gila pada Indonesia. Bangsa yang juara atas hidupnya sendiri. Warga negara miskin antre naik haji menunggu 10 tahun lebih, tanpa pernah menawar berapa pun biayanya. Bahkan membayar di muka, tanpa peduli ke mana bunganya.

Di Tanah Suci, mereka sowan kepada Kanjeng Nabi dan mendengarkan petuah menantu beliau si penjaga pintu ilmu Sayyid Ali bin Abi Thalib: ''Wahai bangsa Indonesia, jangan katakan kepada Tuhan bahwa kalian punya masalah, tetapi nyatakan kepada masalah bahwa kamu punya Tuhan."

Bangsa Indonesia punya banyak senjata untuk melawan kejatuhan dan siaga menyelenggarakan kebangkitan. Mereka menantang kehidupan yang tidak rasional dan penuh kemustahilan dengan "bismillah". Atas nafkah tidak mencukupi mereka bilang "tawakal". Didera keadaan serba-kekurangan terus-menerus mereka ladeni dengan "tirakat" dan keyakinan bahwa ''ayam saja dikasih rezeki oleh Allah''.

Ditipu habis oleh penguasa, cukup mereka tepis dengan ''Tuhan tidak tidur''. Usaha gagal, dagang bangkrut, mereka layani dengan "istiqamah" dan "jihad fisabilillah".

Besok belum tentu makan, apalagi bayar kontrakan rumah dan terlebih-lebih lagi membiayai anak sekolah tidak membuat mereka putus asa, karena di dalam dada mereka ada "nekat".

Mereka adalah champion of life. Jagoan dalam mengalahkan segala jenis kesusahan hidup. Juara penderitaan. Sanggup membangun kegembiraan dalam kesengsaraan. Petarung kesulitan. Pendobrak kemustahilan. Tertawa dalam kehancuran. Pandai dalam kebodohan. Tidak mengenal lelah untuk terus-menerus ditipu, dibohongi, diperdaya, dan ditindas.

Di negara Pancasila, mereka sangat percaya kepada Tuhan, tetapi sangat toleran kepada berhala-berhala. Di berbagai kegiatan hidup, dari keagamaan, politik, dan budaya, mereka bahkan cenderung eksploitatif terhadap berhala-berhala. Sangat gemar bermain berhala, mengambil apa dan siapa saja sekenanya untuk diberhalakan, dipresidenkan, digubernurkan, di-Gus-kan. Esok paginya berhala itu dibuang, ganti berhala baru. Parachampion of life sangat percaya diri, sehingga semau-mau mereka ambil berhala, pura-pura menyembahnya, mengaturnya, mempergilirkannya.

Rasa sayangku pontang-panting kepada Indonesia. Bangsa yang tidak menuntut kepemimpinan kepada para pemimpin. Tidak menuntut komitmen kerakyatan kepada petugas pemerintahan yang mereka upah. Tidak menagih kesejahteraan kepada pengelola tanah airnya, bahkan menyedekahkan kekayaan kepada kepala negara kepala pemerintahan dan seluruh jajarannya. Tidak mempersyaratkan keterwakilan kepada para wakilnya. Lahap mengunyah disinformasi yang dipasok oleh para petugas informasi.

Bangsa yang tidak mengenal kehancuran. Sebab memang tidak berjarak dari kehancuran. Juga karena dalam stuktur kejiwaan mereka: antara kehancuran dan kejayaan, antara riang dengan sedih, antara maju dengan mundur, hebat dengan konyol, mulia dengan hina, pandai dengan bodoh, surga dan neraka, pada alam mental rakyat Indonesia --itu semua sama sekali bukan polarisasi, tidak bersifat dikotomis, tak berhulu-hilir, hulunya adalah juga hilirnya, hilirnya adalah juga hulunya.

Tak ada garis lurus interval. Kedua dimensi nilai-nilai itu berada dalam bulatan yang bersambung, yang kalau dipandang dari jarak tertentu: ia adalah sebuah titik. Rakyat Indonesia tidak tertindas oleh ketidakmenentuan dalam kehidupan bernegara. Republik ayo, kerajaan monggo. Presidensial silakan, parlementer tak apa. Kalau pengurus negerinya mengabdi kepada mereka, ya, tidak dipuji. Kalau mengabdinya kepada diri penguasa sendiri, ya, dibiarkan. Kalau tidak mengabdi malah menganiaya, ya, dikutuk beberapa saat saja.

Mereka tidak terikat untuk mengingat apa yang harus diingat atau melupakan sesuatu yang harus dilupakan. Juga tidak tertekan untuk harus tahu dan mengerti sesuatu. Mau ingat apa, mau lupa apa, mau ngerti apa, terserah-serah kepentingan mereka saat itu.

Sebab akurasi energi psikologis mereka mengarah ke kebahagiaan diri: ingat, lupa, dan mengerti bisa menjadi tembok penghalang utama yang membuat mereka tidak mencapai kebahagiaan secara pragmatis dan permisif. Bahkan antara ingat dan lupa, antara ngerti dengan tidak ngerti, bisa diracik oleh jiwa manusia Indonesia menjadi sebuah kesatuan yang dibikin relatif. Kapan butuh ingat, dia ingat. Kalau yang menguntungkan adalah lupa, mereka pun lupa.

Jangankan tentang isi dunia, sejarah, negara, pemerintah, penggadaian kekayaan tanah air, korupsi, dan perampokan oleh luar maupun dalam negeri: sedangkan terhadap surga sesungguhnya mereka tidak rindu-rindu amat, dan terhadap neraka mereka tidak benar-benar ngeri.

Cintaku kepadamu sekonyong-koder, Indonesia.

Begitu Engkau Bersujud

BEGITU engkau bersujud, terbangunlah ruang yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid. Setiap kali engkau bersujud, setiap kali pula telah engkau dirikan masjid.

Wahai, betapa menakjubkan, berapa ribu masjid telah kau bengun selama hidupmu?
Tak terbilang jumlahnya, menara masjidmu meninggi, menembus langit, memasuki alam makrifat. Setiap gedung, rumah, bilik atau tanah, seketika bernama masjid, begitu engkau tempati untuk bersujud. Setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada ridha Tuhan, menjelma jadi sajadah kemuliaan. Setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan ke piring ke-ilahi-an, menjadi se-rakaat sembahyang. Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk cinta kasih ke-Tuhan-an, lahir menjadi kumandang suara adzan.

Kalau engkau bawa badanmu bersujud, engkaulah masjid. Kalau engkau bawa matamu memandang yang dipandang Allah, engkaulah kiblat. Kalau engkau bawa telingamu mendengar yang didengar Allah, engkaulah tilawah suci.

Dan kalau derakkan hatimu mencintai yang dicintai Allah, engkaulah ayatullah. Ilmu pengetahuan bersujud, pekerjaanmu bersujud, karirmu bersujud, rumah tanggamu bersujud, sepi dan ramaimu bersujud, duka deritamu bersujud.

Menjadilah engkau masjid.

Hidup Itu Di Hati

MANUSIA hidup dari hatinya. Manusia bertempat tinggal di hatinya. Hati adalah sebuah perjalanan panjang. Manusia menyusurinya, menuju kepuasannya, kesejahteraannya, kebahagiannya dan Tuhannya. Berbagai makhluk menghalanginya, terkadang, atau sering kali, dirinya sendirilah yang merintanginya.

Hati adalah pusat kehendak yang membuat manusia tertawa dan menangis, sedih dan gembira, suka ria atau berputus asa. Manusia mengembara dihatinya: pikiran membantunya, maka pikiran harus bekerja sekeras-kerasnya, pikiran bisa perlu ber-revolusi, pikiran tak boleh tidur, pikiran harus dipacu lebih cepat dari waktu cahaya.

Hati tidak selalu mengerti persis apa yang dikehendakinya. Ia hanya bisa berkiblat ke Tuhannya untuk memperoleh kejernihan dan ketepatan kemauannya.

Pikiran ikut menolongnya mendapatkan kejernihan dan ketetapan itu, tapi pikiran tidak bisa menerangkan apa-apa tentang Tuhannya. Pikiran mengabdi kepada hatinya, hati selalu bertanya kepada Tuhannya. Di hadapan Tuhan, pikiran adalah kegelapan dan kebodohan. Jika pikiran ingin mencapai Tuhannya, ia menyesuaikan diri dengan hukum dimensi hatinya. Jika tidak, pikiran akan menawarkan kerusakan, keterjebakan dan bumerang.

Jika pikiran hanya mampu mempersembahkan benda-benda kepada hatinya, maka hati akan tercampak ke ruang hampa, dan pikiran sendiri memperlebar jarak dari Tuhannya.

Badan akan lebur ke tanah. Pikiran akan lebur diruang dan waktu. Hati akan lebur di Tuhan. Jika derajat hati diturunkan ke tanah, jika tingkat pikiran bersibuk dengan bongkahan logam, maka dalam keniscayaan lebur ke Tuhan, mereka akan hanya siap menjadi onggokan kayu, yang terbakar tidak oleh cinta kasih Tuhan, melainkan oleh api.

Jika hati hanya berpedoman kepada badan, maka ia hanya akan ketakutan oleh batas usia, oleh mati, oleh kemelaratan, oleh ketidakpunyaan. Jika pikiran hanya mengurusi badan, jika pikiran tak kenal ujung maka ia akan rakus kepada alam, akan membusung dengan keangkuhan, kemudian kaget dan kecewa oleh segala yang dihasilkan.

Oknum

KALI ini tampaknya justru saya yang berkonsultasi kepada Anda. Ini menyangkut keluhan seorang ibu rumah tangga yang batinnya sedang sangat tertekan. Berasal dari wilayah dekat kampung halarnan saya sendiri.

Pernahkan Anda membayangkan bahwa di antara hal-hal dan realitas yang saya ketahui, hanya sekitar 25 persen saja--bahkan mungkin kurang dari itu yang bisa saya ungkapkan melalui tulisan? Ada banyak pintu tertutup atau rambu nilai yang membuat sangat banyak harus disembunyikan atau ditutup-tutupi.

Ada 'rambu' tata aturan politik. Ada etika sosial, baik yang universal maupun yang nasional dan yang khas budaya Jawa. Ada kode etik jurnalistik. Ada 'rambu' SARA, yang penafsiran atasnya selalu kabur dan berdasarkan subjektivisme kekuasaan, dan lain sebagainya.

Itu semuia membuat kita sering terpaksa menyembunyikan kejahatan, melindungi kebobrokan, atau menutup-nutupi kekejaman. Kita sungguh-sungguh belum lulus dalam hal menentukan strategi aplikasi dari filosofi demokrasi, keterbukaan, atau yang dalam agama disebut 'qullil haqqa walau kana murran'. Katakan yang benar, meskipun pahit. Yang benar tentang kebenaran, maupun yang benar tentang kejahatan.

Oleh karena itu dalam atrnosfir tertentu saya sering mengibaratkan apa-apa yang dimuat di koran-koran itu ibarat - maaf - `bau kentut'.

Maksud saya, seringkali yang kita baca itu baunya saja. Sedangkan bau itu nya indikator dari realitas kentut. Bau itu bukan realitas. Kita tidak pernah tahu apa sebenarnya kentut itu, apa warnanya dan bagaimana bentuknya, dan kemudian yang justru harus diketahui oleh para pembaca koran adalah apa isi perut orang sehingga kentutnya kok begitu baunya, apa saja yang dimakannya, siapa yang ngasih makanan itu, ia dikasih, membeli, atau mencuri.

Alhasil kalau kita baca koran, kita harus punya perhitungan rangkap sebelum menyimpulkan sesuatu. Harus dikunyah, tidak boleh ditelan atau apalagi diuntal begitu saja. Sebab di Indonesia ini, terutama yang ada di jajaran kekuasaan, semua baik. Pejabat pasti baik polisi dan tentara pasti baik. Kasubdit, Kabag, apa saja, semua baik. Yang jelek pasti `oknum'.

Hal ibu rumah tangga yang saya kisahkan ini juga terpaksa tidak 'telanjang' menuliskannya. Cukup intinya saja. Ini bahan silaturahmi antar manusia yang toh punya problem masing-masing. Dan terutama silaturahmi antar ibu-ibu yang siapa tahu diam-diam mengalami penderitaan yang sama, tapi selama ini tak tahu harus diomongkan kepada siapa.

Beliau ini istri kedua dari seorang yang tergolong penting dalam masyarakat. Kepala bagian dari satu urutan yang luhur di sebuah kantor eselon tidak rendah. Sudah pula memiliki gelar sesudah menunaikan suatu jenis ibadat tertinggi. Tak ada yang menyalahi 'hukum' dengan itu semua. Ada izin resmi dari istri pertama. Ia dikawini karena istri pertama tak mampu melayani', dan dipinang dengan alasan daripada si lelaki harus ke pelacuran. Tentu, betapa luhur wanita yang sedia berkorban demi menghindarkan seorang hamba Allah dari api neraka.

Tapi yang dijumpai adalah bumerang. Kebiasaan 'jajan' sang lelaki tak berhenti juga. Ditunggu sampai larut malam, katanya rapat, ternyata barusan kencan di Pantai Kenjeran. Si istri kedua sampai pernah meletakkan Quran di atas kepala sang suami untuk mengambil sumpah tentang melacur lagi atau tidak. Ternyata, berdasarkan sejumlah bukti otentik, memang masih.

Padahal apa saja sudah ia ladeni dari maaf -oral seks, anal seks dan lain sebagainya. Padahal si istri kedua sudah bersedia pisah sama anak-anaknya karena sang suami tak cocok dengan mereka.

Lha, terakhir ini malah ada surat-surat kaleng dan isu beredar bahwa sang suami itu korupsi. "Saya merasa malu, suami saya sering memimpin berdoa, tapi kelakuannya begitu. Saya merasa terhina. Saya minta cerai, tapi tak diperbolehkan".

Jika tak ada siapa pun yang mendengarkan cerita ibu ini, maka tak diragukan lagi justru seluruh suara kesengsaraan batinnya memusat di pendengaran Allah sendiri. Dan jika Allah telah mendengamya, maka hati-hatilah siapa saja yang kelakuan hidupnya menyatakan perang kepada Allah'.

Ibu bisa pilih cara menabraknya secara tegas dan memperjuangkan hak pisah melalui instansi hukum negara dan agama.

Bisa juga menghimpun enerji jangka panjang untuk menemani sang suami tercinta menuju khusnul khatimah, dengan berdrum-drum kesabaran dan kepandaian mendidik.

Betapa mulia di dunia dan betapa cerah rumah di sorga jika itu dilakukan! Atau memperbanyak daya kerohanian: salat malam lebih banyak, dzikir lebih rajin, membersihkan hati, mengucapkan wirid-wirid tertentu yang kontekstual untuk itu, serta memasrahkan sepenuhnya kepada kearifanNya.

Buruh

SEJAK di Taman Kanak Kanak, kita selalu diajari bahwa cita-cita yang terbaik adalah membela bangsa dan negara. Sesudah kita dewasa, sekarang.kita selalu menyadari bahwa tugas mulia kita adalah bagaimana senantiasa nenyumbangkan tenaga dan pikiran kita untuk menyejahterakan rakyat, membela bangsa, membahagiakan masyarakat, rnenciptakan ketenteraman sosial. Apa saja yang mengancam ketenteraman sosial, akan kita perangi bersama-sama.

Keyakinan itulah yang saya patrikan dalam hati ketika membaca surat dari beberapa pekerja pabrik, yang beberapa hari kemudian langsung menemui saya di rumah kontrakan. Wajah mereka kuyu, sinar mata mereka layu meskipun penuh semangat, dan pakaian mereka tentu saja---tidak trendy. Sebagai pekerja rendahan, tentulah mereka tak punya kapasitas ekonomi untuk mengejar mode yang larinya selalu sangat lebih cepat dibanding 'langkah' gaji kita semua.

Terus terang, kalau bersentuhan dengan strata pekerja, otak saya langsung curiga. Ini ada urusannya dengan ketentraman sosial. Oleh karena itu saya 'siap perang'. Terus terang saja, saya tidak suka pada pemogokan kaum buruh. Itu mengancam ketentraman sosial. Dan sangat lebih tidak suka lagi kepada sumber atau penyebab-penyebab pemogokan mereka. Misalnya, hak-hak pekerja yang tidak dipenuhi!

"Tampaknya Anda-anda ini sahabatnya Si Komo...?" saya nyeletuk, sesudah beberapa kalimat pembicaraan, serta berdasarkan yang saya ketahui dari surat mereka.
"Kata orang, buruh macam kami ini derajatnya sama dengan onderdil mesin. Tapi ternyata mesin lebih berharga dan lebih bernasib baik dibanding kami, Mas!" salah seorang nrombol. "Opo maneh iku!" kata saya.

"Kalau mesin mogok, ia tidak dipukuli, melainkan langsung diperbaiki, agar bisa digunakan lagi. Kalau kami mogok, lain soalnya. Wong masalahnya hanya aus karena kurang oli, kok lantas bisa sampai ke mana-mana yang kami tidak paham. Yang mbalelo, yang subversif, yang..."

"Bukan," jawab saya, "Bukan sampai ke mana-mana. Hanya sampai ke uang. Uang itu titik pusat gerak-gerik lain dalam kehidupan.
Gerak pendidikan, gerak kebudayaan, gerak politik, tuduhan-tuduhan dan retorika dalam hubungan kerja antar manusia, sesungguhnya bermuara pada uang. Tetapi yang penting, saya tidak mau kedatangan Anda kemari ini menjadi potensi yang bisa mengancam ketentraman sosial. Sebagai warga negara yang berusaha baik, saya selalu merasa wajib mencegah segala sesuatu yang bisa meresahkan masyarakat, meskipun yang bisa saya lakukan ya hanya sebatas begini-begini ini saja...."

"Meresahkan masyarakat bagaimana? Dan ikut mencegah bagaimana," mereka mengejar.
"Misalnya," jawab saya, "seperti dalam kasus yang Anda kemukakan kepada saya: para buruh harus kompak dengan juragan dan semua dalam perusahaan untuk mengantisipasi oknum-oknum yang dinilai tidak bisa melaksanakan undang-undang perburuhan. Para buruh harus selalu meletakkan diri dalam satu kepentingan dengan perusahaan, demikian juga pihak perusahaan harus meletakkan diri dalam dialektika profesional dengan buruh, sebab keduanya saling memerlukan. Para buruh kompak dengan perusahaan dalam pemenuhan hak-hak: gaji yang memadai sesuai dengan Moral Perburuhan Pancasila, imbalan lembur, fasilitas kesehatan, cuti haid, cuti hamil, hak berorganisasi, keterbukaan dan keadilan ketentuan kesejahteraan buruh... pokoknya semua segi hubungan kerja - nya. Perusahaan juga harus bertindak tegas kalau ada buruh yang menyogok atau menyewa pihak luar yang punya kekuatan untuk menekankan kepentingannya. Kalau ternyata buruh tak mungkin melakukan itu karena tak punya biaya,ya perusahaan yang harus waspada jangan sampai dirinya menyewa kekuatan macam itu...."
Saya menganjurkan agar para buruh itu mengusulkan kepada para juragannya, para direktur dan mandor-mandornya, agar memberikan penataran kepada para buruh ---umpamanya---tentang undang-undang perburuhan, apa kata Pancasila tentang hak-hak buruh.

Manusia dan Pemimpin Sepertiga

DIMENSI ketercerahan jiwa manusia yang dimaksud oleh la yamassuhu illal muthahharun itu, kita misalkan ada tiga.

Pertama, ketercerahan spiritual. Kedua, ketercerahan mental.
Ketiga ketercerahan intelektual. Produknya adalah ketercerahan yang keempat, yakni ketercerahan moral.

Kita coba langsung saja ke empirisme sosial. Ada manusia atau pemimpin yang memperoleh pencerahan intelektual, pengetahuan dan ilmunya mumpuni, gelarnya sampai berderet-deret, aksesnya besar dan luas sebagai pelaku birokrasi sejarah kehidupan modern, maupun sekurang-kurangnya sebagai narasumber pengamatan. Akan tetapi effektivitas fungsinya bisa mandul, ternyata karena kecerahan intelektualnya tidak didukung oleh kecerahan spiritual dan mental.

Pintar, tapi mentalnya bobrok dan spiritualitasnya tak bercakrawala. Sehingga ilmunya berdiri sendiri. Perilakunya, habitatnya, keputusan-keputusan yang dibuatnya, tidak mencerminkan ketinggian dan kecanggihan ilmunya. Khalayak ramai akhirnya berkesimpulan bahwa semakin banyaknya orang pinter bukan hanya tidak kondusif untuk perbaikan negara dan bangsa, tetapi ada gejala malah memperburuknya. Dengan kata lain: produknya bukan moralitas kehidupan berbangsa yang baik.
Wallahua'lam.

Ada juga manusia atau pemimpin yang mentalnya bagus, teguh pendirian dan memiliki keberanian kejuangan. Kalau bicara tidak bohong, kalau janji ditepati, kalau dipercaya tidak berkhianat. Tetapi ia juga tidak banyak mampu berbuat apa-apa untuk menyembuhkan keadaan, ternyata sebab pengetahuannya terlalu elementer untuk meladeni kompleksitas keadaan.
Langkahnya keliru-keliru, sering naif, dan pada tingkat ketegasan tertentu ia malah tampak sebagai orang brutal, radikal, fundamentalis, ekstremis - justru karena terbiasa berpikir linier dan hitam-putih dalam memahami sesuatu.
Keadaan ini tidak ditolong pula oleh potensialitas keterbimbingan spiritual di dalam dirinya. Maka ia juga tidak banyak bisa menolong perbaikan moral bangsa.

Potensi yang ketiga adalah manusia atau pemimpin yang bisa dijamin kejujuran pribadinya, bisa diandalkan kesalihannya, kekhusyukan hidupnya, intensitas ibadatnya. Tetapi ia tidak bisa banyak berbuat untuk pertarungan-pertarungan sejarah yang luas. Ia seperti seorang eskapis yang duduk bersila dan berdzikir di gua persembunyiannya. Sebab ia tidak memiliki ketercerahan intelektual untuk memahami dunia yang dihadapinya, sehingga tidak pula bisa menerapkan kehebatan mentalitasnya, karena tidak ada agenda untuk menyalurkannya.

Hasil akhirnya, ia mandul terhadap perjuangan moral sosial.
Masing-masing dari yang saya uraikan di atas itulah manusia-sepertiga atau pemimpin-sepertiga. Cerah intelektual thok, cerah mental doang, cerah spiritual melulu. Bangsa kita memerlukan manusia pemimpin yang tidak sepertiga, tetapi utuh satu, meskipun mungkin saja kita harus melewati 'arisan kepemimpinan nasional', melewati satu dua pemimpin sepertiga lagi, yang harus dituruti karena masyarakat kita sedang shakao, dengan tagihan jenis narkoba kelompoknya masing-masing.

Yang pasti, dari manusia-sepertiga atau pemimpin-sepertiga, kita tidak bisa mengharapkan watak kearifan kemanusiaan, kenegarawanan, kematangan sosial, kecerdasan futurologis, serta kepekaan terhadap komprehensi kasih sayang dalam multi-dimensi kehidupan berbangsa.

Universitas Paling Jujur

BEBERAPA waktu yang lalu saya banyak ketemu wartawan di berbagai kota. Mereka 'menyelenggarakan' saya untuk ngomong tentang hal-hal yang besar, umpamanya tentang kebudayaan dunia mutakhir, kebudayaan Indonesia alternatif pokoknya sesuatu yang besar, luas, dan gampang dikarang-karang.

Padahal saya sebenarnya lebih sreg kalau mereka bertanya tentang terminal bis, yang seminggu dua minggu ini merupakan bagian amat penting dari 'proses kuliah kehidupan' yang saya alami.

Andaikan saja mereka bertanya: Di mana inti kebudayaan dunia modern?

Saya (setidaknya buat sementara) akan mantap menjawab: Di terminal bis.

Kalau saja mereka bertanya: Di mana Anda kuliah?

Saya pasti akan menjawab: Di terminal bis.

Lantas akan saya tambahi sendiri pertanyaan itu: Di mana universitas terbesar? Di mana universitas yang paling terbuka dan paling jujur mengekspresikan dirinya?

Dan saya jawab sendiri: Di terminal bis.

Saya menyesal kenapa saat ini saya bukan seorang mahasiswa yang sedang mendapat tugas bikin paper atau skripsi. Tugas itu akan mendorong saya untuk menganalisis segala pengalaman terminal-terminal dengan suatu kerangka teori akademis yang tertentu dan memuarakannya pada rujukan-rujukan baku.

Sebab tanpa penugasan resmi, rujukan saya 'hanya' kehidupan itu sendiri, hanya common sense atau akal sehat yang kita pelihara seperti memelihara matahari dari setiap saputan awan.

Bekerja itu Memproduksi Tenaga

IBU, anakmu bukan berpejam mata terhadap betapa penting perkembangan pemikiran-pemikiran. Anakmu belum segila itu.

Tapi ia merasa terlibat di dalam belum berhasilnya manusia memfungsikan ilmu pengetahuan untuk berpacu melawan laju kebobrokan.

Anakmu memusatkan omongannya ini pada ironi yang anakmu sandang sendiri. Ibu, kami sibuk merumus-rumuskan keadaan, meniti dan menggambar peta masalah, mengucapkan dan mengumumkannya. Pengumuman itu mandeg sebagai pengumuman. tulisan mengabdi kepada dirinya sendiri.

Sedangkan Ibu, hampir tanpa kata, berada di dalam peta itu, menjawabnya dengan tangan, kaki dan keringat.

Kami menghabiskan hari demi hari untuk mengeja gejala, dengan susah payah berusaha menjelaskan kepada diri sendiri, sampai akhirnya kelelahan, lungkrah dan ngantuk—Ibu pula yang dengan tekun memijiti tubuh kami.

Ibu tak kehabisan tenaga. Apakah Ibu menyewanya langsung dari Tuhan? Ya, Bu. Bekerja itu memproduksi tenaga. Berpikir, yang hanya berpikir, selalu menciptakan keletihan, yang belum tentu ada gunanya.

Manusia hendaknya tahu diri, belajar bertawadlu’ dan mencoba mengenali rahasia-rahasia firman-Nya, atau yang alau memakai bahasa keduniaan manusia; mengenali retorika dan diplomasi-Nya. Jangan sekali-kali kita terjebak dalam kandungan dan membayangkan Allah memiliki kepentingan atas kehidupan dan segala pekerjaan kita.

Pahlawan Sejati

KEPADA seorang Ibu sederhana di sebuah dusun, yang pekerjaannya mencintai dan menemani wong cilik di desanya sepanjang hidup, saya mengajukan pertanyaan yang agak muluk: "Bu, siapakah pahlawan sejati?"

Ia menjawab: "Pahlawan sejati ialah orang yang berani omong tentang perjuangan sosial dan membela rakyat hanya sesudah ia sendiri sanggup bertanggung jawab secara mandiri atas perutnya sendiri. Pahlawan sejati ialah orang yang membela rakyat dengan kekuatan dan uang pribadinya, bukan dengan dana dari luar yang apalagi ia sendiri diupah untuk apa yang diperjuangkannya. Tapi yang terpenting adalah bahwa pahlawan sejati tidak pernah sempat menganggap dirinya pahlawan bahkan tidak punya waktu untuk mengingat kata pahlawan".

Saya bereaksi: "Waduh, Bu, kok berat dan muluk sekali syarat untuk menjadi pahlawan sejati?" Ibu itu menjawab lagi: "Memang berat dan muluk. Maka tidak akan berminat. Maka tidak populer dan tidak dipakai. Kalau ada yang memakainya, mungkin malah dikutuk, dirasani dan difitnah di mana-mana..."

Peran Narkoba Dalam Pembangunan

DI KEDUA lengan tangan bawah saya bagian dalam terdapat sejumlah goresan kecil-kecil yang kayaknya nggak bisa hilang. Orang yang meliriknya normal kalau menyimpulkan itu bekas luka-luka suntikan narkoba, tanpa bisa menemukan alasan apa pun untuk menggeremeng di dalam hatinya kenapa orang macam saya pasti bebas dari narkoba.

Luka-luka itu berasal dari praktik Ilmu Hijamahnya Rasulullah SAW yang di Jakarta terkenal dengan aplikasi nama ”bekam”. Seharusnya ujung jarum ditutul-tutulkan secara sangat hati-hati dan peka sehingga kedalaman tusukan itu tak boleh lebih dari 0,4 mm sebagaimana teknik tusukan dan hisapan lintah.

Tetapi karena pelakunya kecapaian, yang dia lakukan atas tangan saya bukan tutulan, melainkan goresan. Semacam malapraktik kecil-kecilan yang menguntungkan saya karena memperoleh rahmat seumur hidup untuk disangka orang pemakai narkoba. Setiap hari, terutama ketika mandi, selalu terpandang goresan-goresan itu sehingga selalu juga saya ingat narkoba. Tak ada hari saya lewati tanpa ingat narkoba. Dia menjadi teman hatiku sehari-hari, menjadi sahabat dialektika kesadaranku siang dan malam.

Kalau di suatu siang yang panas gerah selintasan angin menerpa badanmu dan mengusap rambutmu, angin itu menjadi bagian dari dirimu. Segala sesuatu yang kau pandang, kau dengar, kau rasakan,kau alami, apalagi memasuki dirimu dan menjadi anasir dalam darahmu, dia menjadi bagian dari dirimu, bagian dari ingatan dan kesadaranmu, bagian dari sejarahmu. Menjadi file hard disk-mu, hidden atau unhidden.

Kau sukai atau kau benci, dia tetap adalah bagian dari kosmologi dan dzat kemakhlukanmu. Soekarno, Soeharto, SBY, Hitler, Iblis, malaikat, apa saja, tak bisa hilang dari sistem komprehensif hidupmu.Semula dia sekadar kita sangka merupakan ”bagian dari” dirimu, suatu saat engkau menemukan dia ”adalah”dirimu. Itulah sebabnya terdapat nasihat ”kuno” tentang kehati-hatian:

”Setiap butir nasi dan tetes air yang memasuki tenggorokanmu, perhatikan asal usul kebenaran dan kebatilannya, posisi halal haramnya. Sebab engkau sedang mengawali dan memproses takdir bagi anak-anak dan cucu-cucumu.”

Ini bukan filsafat teoretis. Ini ilmu dan pengetahuan empiris. Para ilmuwan meneliti tikus yang sakit turunan sejak kakek neneknya: mereka tidak melakukan tindakan kuratif medis untuk menyembuhkan tikus, melainkan mengubah habitatnya, merangsang perubahan perilakunya, tata ruang tempat tinggalnya, pola makan minumnya, memastikan keabsahan asal usul segala konsumsinya. Pada jangka waktu tertentu tikus itu sembuh dan tidak mewariskan sakit yang sama kepada anak-anaknya lagi.

Demikian berlangsung sampai generasi berikutnya, kecuali perubahan perilaku dan sejarah konsumsi itu diubah lagi. Dari kasus tikus itu kita temukan betapa terkait erat hubungan antara kondisi seseorang dengan habitat di mana dia hidup. Tidak bisa orang kena narkoba sendirian tanpa habitat yang memang kondusif terhadap kenarkobaannya. Itu tak harus berarti pemakai narkoba selalu lahir dari lingkungan pemakai narkoba, tetapi ada faktor-faktor yang jauh lebih luas dan komprehensif-dialektis.

Tradisi konsumsi narkoba sangat bisa terkait dengan pola budaya, cara berpikir, nilai sosial, cara- cara mempertimbangkan sesuatu, kualitas nilai yang dipilih tentang siapa tokoh siapa bukan, siapa duta siapa bukan, termasuk kewaspadaan atau kesembronoan institusional ketika menentukan atau memilih ini dan itu. Bagian dari korek api yang terbakar hanya sumbunya,tetapi tak ada nyala api tanpa bagian-bagian lain dari korek api. Jangan berpikir korek api adalah nyala api ”saja”, jangan berpikir bahwa habitat narkoba hanya pemakai narkoba ”saja”.

Kalau diperluas, jangan berpikir bahwa pelaku korupsi adalah koruptor saja, sebab mereka melakukan korupsi ”berkat” adanya faktor-faktor lain yang komprehensif yang memungkinkannya melakukan korupsi.

Tegasnya, kita semua ”menanggung dosa” sistemik dan struktural atas penyalahgunaan obat terlarang, atas korupsi, juga atas munculnya apa yang kemudian terpaksa kita sebut sebagai aliran sesat. Ada dimensi-dimensi sosial di mana kita semua telah melakukan ketidakbertanggungjawaban kolektif atas sejumlah nilai dasar kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehingga suburlah ketiga ”narkoba”itu.

Dengan teori habitat itu, tak ada yang mengherankan kenapa lembaga penanggulangan narkoba ”salah pilih” dutanya: api menyala pada sumbu, tapi berasal dari sistem menyeluruh korek api. Oleh karena itu memang diperlukan ekstrakewaspadaan di dalam mempersepsi, menganalisis, dan mengatasinya.

Apalagi kita sedang berada pada habitat alamiah kemanusiaan yang sampai batas tertentu justru sangat potensial untuk lambat atau cepat pasti menghancurkan kemanusiaan kita sampai anak cucu.

Misalnya, mari sejenak kita keluar dari rumah tikus itu dan memperhatikan faktor yang lain sama sekali. Misalnya, para ilmuwan itu lebih tertarik pada tikus yang sakit dibanding jutaan tikus lain yang sehat. Ini hukum alam. Sakit lebih menonjol dibandingkan waras.

Kacau lebih menggairahkan dibanding aman. Buruk lebih laku dibandingkan baik. Jahat lebih sensasional dibandingkan mulia. Hancur lebih mudah dipasarkan dibandingkan bangkit. Curang lebih nendang dibandingkan jujur. Bentrok lebih nikmat dipergunjingkan dibandingkan rukun. Chaos lebih nyaman diinformasikan dibandingkan tenteram.

Kalau rumus ”orang baik” kalah menarik dan kalah unggul dibandingkan ”orang pernah buruk” yang dipakai oleh birokrasi, lembaga informasi, institusi pengelolaan sosial serta semua kepengurusan kehidupan bangsa kita, sesungguhnya kita sedang menyediakan ruang utama dalam pengelolaan pembangunan sejarah bangsa ini kepada ”orang pernah buruk”, sekadar karena kurang selera atas ”orang baik”.

Adalah narkoba nasional yang segera menghancurkan kita semua jika tak segera berhenti menyerahkan negara ini kepada ”orang yang menarik”, bukan kepada ”orang yang mengamankan.”

Rekor Masuk Neraka

ANDAIKAN makhluk yang bernama fatwa sudah sejak dulu menemani bangsa Indonesia, tentu masyarakat kita menjadi terbiasa bergaul dengannya sehingga tidak mudah uring-uringan seperti yang hari-hari ini terjadi.

Misalnya pada awal 1900-an kaum ulama melontarkan fatwa bahwa Kebangkitan Nasional bangsa Indonesia itu wajib hukumnya (sehingga tidak bangkit itu haram hukumnya). Demikian juga mempersatukan seluruh pemuda Indonesia itu fardhu kifayah( semua orang tidak bersalah asal ada sebagian yang menjalankannya).

Sumpah Pemuda itu fardhu ‘ain, kewajiban bagi setiap orang, kalau tidak bersumpah bergabung dalam persatuan Indonesia haram hukumnya. Berikutnya begitu Hiroshima- Nagasaki dibom atom, ulama Indonesia sigap melontarkan fatwa bahwa memproklamasi kan kemerdekaan Republik Indonesia itu wajib sehingga masuk neraka bagi siapa saja yang menolak 17 Agustus 1945.

Lantas diikuti oleh ratusan atau bahkan ribuan fatwa berikutnya: demokrasi itu wajib (meskipun di dalamnya ada komunisme itu haram).Tidak menaati UUD 1945 itu haram. Konstituante dan Piagam Jakarta dicari formula fatwanya. Katakanlah sejak pra-Kebangkitan Nasional hingga era Reformasi sekarang ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah menelurkan lebih dari 5.000 fatwa.

Makhluk Suci dari Langit

Sementara kita simpan di laci dulu perdebatan tentang positioning antara negara dengan agama. Kita istirahat tak usah bergunjing ulama itu sejajar dengan umara (pemerintah) ataukah di atasnya ataukah di bawahnya. Juga kita tunda menganalisis lebih tinggi mana tingkat kekuatan fatwa kaum ulama dibandingkan undang-undang dan hukum negara.

Entah apa pun namanya makhluk Indonesia ini: negara sekuler, demokrasi religius, kapitalisme sosialis atau sosialisme kapitalis,atau apa pun. Kita mengandaikan saja bahwa produk kaum ulama,khususnya MUI, berposisi sebagai inspirator bagi laju pasang surutnya pelaksanaan kehidupan bernegara dan berbangsa.

Sebutlah ulama adalah partner pemerintah. Kaum ulama adalah makhluk suci berasal dari langit, memanggul amanat Allah sebagai khalifatullah fil ardli Indonesia. Kita semua pun bersyukur karena dalam menjalankan demokrasi kita ditemani oleh utusan-utusan Tuhan.Dulu para rasul dengan mandat risalah, para nabi dengan mandat nubuwah, dan para ulama dengan mandat khilafah.

Tidak semua soal kehidupan mampu diilmui oleh akal manusia, maka kita senang Tuhan kasih informasi dan tuntunan, terutama menyangkut hal-hal yang otak dan mental manusia tak sanggup menjangkau dan mengatasinya. Kaum ulama dalam majelisnya terdiri atas segala macam ahli dan pakar.

Ada ulama pertanian, ulama ekologi, ulama perekonomian, ulama kehutanan, ulama kesehatan dan kedokteran, ulama, ulama kesenian dan kebudayaan, ulama fiqih, ulama tasawuf dan spiritualisme, ulama olahraga, dan segala bidang apa pun saja yang umat manusia menggelutinya karena memang seluruhnya itulah lingkup tugas khilafah atau kekhalifahan.

Tradisi Fatwa dalam Negara

Akan tetapi tradisi itu tak pernah ada.Fatwa terkadang nongol dan sangat sesekali. Mendadak ada fatwa tentang golput tanpa pernah ada fatwa tentang pemilu, pilkada, pilpres dengan segala sisi dan persoalannya yang sangat canggih. Tiba-tiba ada fatwa tentang rokok tanpa ada fatwa tentang pupuk kimia, tentang berbagai jenis narkoba, suplemen makanan dan minuman,penggusuran,pembangunan mal, industri, kapitalisasi lembaga pendidikan,serta seribu soal lagi dalam kehidupan berbangsa kita.

MUI mengambil bagian yang ditentukan tanpa pemetaan konteks masalah bangsa, tanpa skala prioritas, tanpa pemahaman konstelasi serta tanpa interkoneksi komprehensif antara berbagai soal dan konteks. Itu pun fatwa membatasi diri pada ”benda”. Makan ayam goreng halal atau haram? ”Dak tamtoh,” kata orang Madura.Tak tentu.Tergantung banyak hal.Kalau ayam curian,ya haram.

Kalau seseorang mentraktir makan ayam goreng sementara teman yang ditraktirnya hanya dikasih makan tempe, lain lagi hukumnya. Makan ayam goreng secara demonstratif di depan orang berpuasa malah bisa haram, bisa makruh, bisa sunah. Haram karena menghina orang beribadah. Makruh karena bikin ngiri orang berpuasa.

Sunah karena dia berjasa menguji kesabaran orang berpuasa. Beli sebotol air untuk kita minum, halal haramnya tak terletak hanya pada airnya. Kalau mau serius berfatwa perlu dilacak air itu produksi perusahaan apa, modalnya dari uang kolusi atau tidak, proses kapitalisasi air itu mengandung kezaliman sosial atau tidak?

Kalau kencing dan buang air besar mutlak wajib hukumnya. Sebab kalau orang menolak kencing dan beol, berarti menentang tradisi metabolisme tubuh ciptaan Allah SWT. Berzikir tidak wajib, bahkan bisa makruh atau haram. Misalnya suami rajin salat dan berzikir siang malam, istrinya yang setengah mati cari nafkah. Atau kita wiridan keraskeras di kamar ketika teman sekamar kita sedang sakit gigi.

Hak Tuhan

Butuh ruangan lebih lebar untuk menguraikan berbagai perspektif masalah yang menyangkut fatwa. Negara dan masyarakat tak perlu mencemaskan fatwa karena ada jarak serius antara fatwa dengan agama, apalagi antara fatwa dengan negara dan hukumnya.Terlebih lagi jarak antara fatwa dengan Tuhan.

Yang berhak me-wajib-kan, menyunah- kan, me-mubah-kan, memakruh- kan dan meng-haram-kan sesuatu hanya Tuhan.Ulama dan kita semua hanya menafsiri sesuatu. Kalau MUI bilang ”rokok itu haram”, itu posisinya beliau-beliau berpendapat bahwa karena sesuatu dan lain hal, maka diperhitungkan bahwa Tuhan tidak memperkenankan hal itu diperbuat.

Setiap orang, sepanjang memenuhi persyaratan metodologis dan syar’i, berhak menelurkan pendapat masing-masing tentang kehalalan dan keharaman rokok dan apa pun. Muhammadiyah dan NU pun tidak merekomendasikan pengharaman rokok. Artinya, para ulama dari dua organisasi Islam terbesar itu memiliki pendapat yang berbeda.

Sebelum saya mengambil keputusan untuk mewakili pendapat Tuhan untuk mewajibkan menghalalkan atau mengharamkan sesuatu hal, sangat banyak persyaratan yang harus saya penuhi. Terutama persyaratan riset, sesaksama mungkin dan ini sungguh persoalan sangat besar, ruwet, luas, detail.

Kemudian andaipun persyaratan itu mampu saya penuhi, saya tidak punya hak untuk mengharuskan siapa pun saja sependapat dengan saya atau apalagi melakukan dan tidak melakukan sesuatu sejalan dengan pandangan saya.Nabi saja tidak berhak mewajibkan siapa pun melakukan salat.

Hak itu ada hanya pada Tuhan, Nabi sekadar menyampaikan dan memelihara kemaslahatannya. Para ulama dan kita semua bisa kelak teruji, ternyata sependapat dengan Tuhan,bisa juga akan terlindas oleh peringatan keras Allah: ”Lima tuharrimu ma ahallallohu lak”,kenapa kau haramkan sesuatu yang dihalalkan oleh Tuhan untukmu?

Tapi jangan lupa bisa juga terjadi sebaliknya: kenapa aku halalkan yang Allah haramkan? Mungkin benar rokok itu haram dan saya akan masuk neraka karena itu, bersama ulama agung Indonesia Buya Hamka,perokok yang jauh lebih berat dibandingkan saya yang sama sekali tidak nyandu rokok. Juga ada teman saya di neraka almarhum Kiai Mbah Siroj Klaten yang hingga usianya 94 tahun merokok empat bungkus sehari. Dengan demikian bangsa Indonesia akan tercatat sebagai pemegang rekor tertinggi masuk neraka karena rokok.

Demokrasi Yatim Piatu

DEMOKRASI merupakan puncak pencapaian ilmu, ideologi dan wisdom hasil karya ummat manusia abad 20-21. Demokrasi telah disepakati untuk menjadi satu-satunya “kiblat” dalam urusan kehidupan bernegara dan berbangsa. Hampir tidak ada ketidak-sepakatan terhadap demokrasi.

Semua orang menjunjung demokrasi. Semua orang merasa salah, bodoh dan dekaden kalau ragu terhadap demokrasi. Tidak ada pidato Presiden, bahkan Soeharto, apalagi sesudahnya, yang tak mengerek bendera demokrasi. Tak ada pendapat dalam diskusi, perdebatan dalam talk-show, seminar, disertasi dan tesis, pun pidato Pak Lurah dan Ketua RT, bahkan ketika terbaring sendiri di bilik pribadi, kita bergumam-gumam sendiri “I love you democracy!” dalam pikiran dan hati.

Itu tak lain karena saking sucinya demokrasi. Sayapun dipersilahkan oleh demokrasi untuk mengabadikannya dalam tulisan, meskipun sungguh sangat sulit. Orang kotor mustahil menggagas kesucian. Dan meskipun tulisan ini berangkat dari niat menjunjung tinggi demokrasi, sesungguhnya modal hidup kotor saya tidak menambah tingginya kesucian demokrasi yang saya junjung. Kesucian tidak memerlukan pengakuan dari kekotoran bahwa ia suci.

Mungkin kalimat-kalimat saya ini ibarat ungkapan Iblis yang mencoba menjunjung Tuhan, karena pada dasarnya ia sangat takut kepada Tuhan dan hanya mau “menyungkurkan diri” di hadapan Tuhan. Saya sangat mencintai demokrasi, tetapi itu tidak berarti saya mampu menerapkan demokrasi dalam perilaku hidup saya.

Demokrasi itu bak “perawan”, yang merdeka dan memerdekakan.

Watak utama demokrasi adalah “mempersilahkan”. Tidak punya konsep menolak, menyingkirkan atau membuang. Semua makhluk penghuni kehidupan berhak hidup bersama si Perawan, bahkan berhak memperkosanya: yang melarang memperkosa bukan si Perawan itu sendiri, melainkan “sahabat”nya yang bernama Moral dan Hukum.

Si Perawan bisa ditunggangi oleh kaum kapitalis di Eropa untuk menyingkirkan kekuasaan Gereja dan dulu Kerajaan-kerajaan. Dan sesudah kapitalisme menguasai panggung bangsa dan masyarakat, demokrasi tidak mengharuskan para kapitalis untuk bersikap demokratis, karena demokrasi tidak memiliki karakter untuk mengharuskan.

Para Capres, Caleg, Cagub-Cawagub, Cabup-Cawabup, bisa mengendarai Perawan untuk berhak menyerap dana dari siapapun demi menerapkan strategi mencapai jabatan yang hendak diraihnya. “Money politic” tidak dilirik atau diawas-awasi oleh si Perawan, karena yang bertugas untuk itu adalah Undang-undang. Demokrasi bukan tak punya daya untuk mengantisipasi korupsi dan penyelewengan, tetapi memang itu bukan bagiannya. Demokrasi bahkan mempersilahkan siswa SD menenggak narkoba, murid SMP nonton bareng video porno, lelaki berpoligami atau bermonogami, suami-suami istri-istri bertukar teman tidur, warga ikut nyoblos atau memilih golput, atau melakukan apapun dan tidak melakukan apapun dalam kehidupan yang merdeka semerdeka-merdekanya.

Yang mengurusi narkoba bukan demokrasi, tapi rekanan kerja peradabannya yang bernama Ilmu Kesehatan. Yang mengantisipasi video porno adalah Moral dan Keselamatan Hidup. Yang merespon pertukaran suami istri adalah Keseimbangan Sosial. Yang mewaspadai pemilu dan golput adalah pertandingan kekuasaan dan akses politik.

Demokrasi itu perawan suci yang yatim dan piatu. Tak punya Bapak Ibu, nasabnya belum pernah diperjelas. Ia memerdekakan manusia sepenuh-penuhnya. Semua dan setiap manusia sangat membutuhkan kesucian demokrasi, sebagian untuk tempat berlindung, dan sebagian lain untuk melakukan eksploitasi dan subversi pengkhianatan nilai.

Hendaklah setiap manusia menikahi demokrasi, memperistri atau mempersuami si Perawan, tetapi ajaklah ia tinggal di rumah Hukum, yang berfundamen Ilmu, di lingkungan pertetanggaan Moral, dengan sirkulasi udara Budaya, dengan menjaga pertatapan wajah dan sorot mata nurani, serta pemeliharaan rahasia iman dan perhubungan sunyi Tuhan.

Demokrasi adalah makhluk terindah hasil karya ummat manusia selama peradaban. Manusia Jawa meromantisirnya dengan sebutan Kiai Demos dan Pangeran Kratos. Makhluk penjunjung demokrasi sangat meyakini bahwa puncak pencapaian kecerdasan dan nurani mereka sejak “Renaissance” ini belum pernah digapai oleh ummat manusia pada era manapun sebelumnya: Atlantis dan Lemorian, Hastinapura, Inka dan Maya, Hud iradzatim’imad, ribuan tahun Dinasti Pharao, Jawa-Dwipa, Medang Kamulan, atau kurun apapun, tidak juga pernah dicapai oleh makhluk Laserta, Smarabhumi, Nyi Roro Kidul dan siapapun.

Peradaban modern hingga post-modernism hingga post-globalism bahkan sangat mudah menemukan keunggulannya: yakni meyakini bahwa apapun saja yang mereka belum tahu, apapun saja yang akal pikiran dan penelitian ilmu mereka belum menjangkau - itu berarti inexist, unbeing, tiada. Yang ada dalam kehidupan ini hanyalah yang orang sekarang mengetahuinya ada dan menganggapnya ada. Mengetahui dengan kasat mata dan jasad telinga.

Kiai Demos dan Pangeran Kratos, yang melahirkan “maha” - teknologi, dari gedung-gedung sangat tinggi hingga se-debu chip yang dipasang di jidat setiap orang, dunia maya yang memperkerdil jagat menjadi segenggaman tangan, bozone dan fermione, nano technology, persenjataan kimia rahasia, atau apapun - sama sekali jangan dibandingkan dengan teknologi lidi Lombok Pawang Hujan, helai rambut santet, celak-Arab dan tanah kuburan Jin, Ilmu Katuranggan, takir Dewi Sri, dan apapun yang dibangga-banggakan di masa silam.

Kekuasaan Tuhan dengan seluruh jajaran birokrasi-Nya, dari para Malaikat Menteri hingga Datu Laut, Danyang gunung, Kepala Dinas Awan dan Hujan dan ribuan “PNS” maupun “Angkatan Bersenjata” - Nya - sudah digantikan oleh Kongres Amerika, 3 juta hadirin pelantikan Obama, strategi Java Tel-Aviv, bursa modal di tangan anak turun Ismail ben Ibrahim dan tata kelola jagat raya di genggaman turunan Ishaq ben Ibrahim, dipembantu-umumi Bill Gates dan Steve Job. Bahkan perusahaan penyelenggaraan haji internasional berada dalam kendali ben Laden.

Semua itu kini sedang mencapai puncak dan ujungnya. Jika sebentar lagi tiba suatu hari di mana yang inexist tiba-tiba exist, yang unbeing mendadak nongol being, yang nothing mencegatmu sebagai a real true thing: si Perawan akan mulai belajar menjanda.

Filosofi Penindasan

RAKYAT saya ini sungguh bandel. Sebagai pemimpin, sungguh saya tak pernah menyangka bahwa manusia bisa sedemikian mbanggel-nya. Susah benar mengatur mereka. Orang diajak bersatu saja kok sukarnya bukan main.

Mending mengurusi kambing atau sapi.

Bersatu itu 'kan enak. Alam dan kehidupan sudah memberi contoh sejak dulu.

Kalau cabe mau bersatu dengan terasi dan brambang, ditambah garam, kan jadi sambal yang nylekit. Apa sih keberatannya? Sekadar bersatu dengan terasi -- kok keberatan. Apa maunya hidup tanpa sambal?
Coba kalau berani: bikin undang-undang yang melarang sambal! Saya jamin akan terjadi revolusi.

Dan revolusi semacam itu belum tentu akan terjadi kalau alasannya adalah bukan sambal. Kalau yang jadi isu sekadar ketidakadilan sosial, konglomerasi yang berlebihan, kediktatoran politik atau masalah-masalah remeh yang semacamnya -- berani taruhan tak akan bisa membuat rakyat
bergerak.

Hanya sambal sajalah yang dijamin bisa menjadi sumber people power.

Ini adalah negeri sambal. Ini adalah masyarakat sambal. Ini adalah kebudayaan dan peradaban sambal.

Dan sekarang terbukti bahwa terutama di bidang politik, para aktivis jelas tidak mampu meniru persatuan sambal.

Jadi, saya ini sebagai pemimpin, benar-benar pusing kepala.

Entah kenapa Tuhan mencampakkan saya ke urusan-urusan di mana saya harus berhadapan dengan anak-anak kemarin sore yang naif-naif.

Saya ajak merawat persatuan dan kesatuan, rewelnya bukan main.
Saya kasih tawaran untuk memiliki kemuliaan jiwa, juga ogah-ogahan.

Misalnya, kaki mereka saya injak, lantas saya katakan: ''Damai ya? Kamu mau memafaatkan saya atau tidak? Memaafkan itu perbuatan luhur.
Tuhan saja banyak sifat pemaaf dan pengampunnya.

Tuhan itu ghofur, tawwab, 'afuwwu, ghofar dan lain-lain. Semua itu sifat pemaaf. Coba kamu pikir, Tuhan yang mahabesar dan tak butuh apa-apa saja bersedia memaafkan, kok kamu sok tidak mau memaafkan. Ayo! Mau memaafkan saya atau tidak! Kalau tidak, berarti kamu menentang saya!

Merongrong kewibawaan saya!'' Jadi, kalau saya menginjak kaki mereka, itu suatu metode pendidikan untuk melatih kebesaran jiwa mereka. Kalau saya menempeleng kepala mereka, itu untuk menguji keluasan hatinya. Kalau saya menendang seseorang sehingga terlempar jatuh dari kursinya dan ia lantas duduk di kursi bayangan, itu demi menatar keteguhan batinnya. Kalau saya rampok hartanya, saya gusur ladangnya atau saya ambrukkan rumahnya, itu semata-mata kaifiyah atau prosedur agar mereka mengembangkan kecerdasan ilmunya tentang keadilan dan kebenaran.Menguji keluasan hati, melatih kebesaran jiwa, mengembangkan ilmu dan meneguhkan akhlak, dan lain sebagainya -- adalah hal-hal yang merupakan inti ajaran Tuhan dan para nabi-Nya. Saya sekadar penerus, ahli waris.

Di sinilah letak kesalahpahaman rakyat saya. Maklumlah mereka memang masih bodoh-bodoh. Merdeka belum lama. Terlalu lama dijajah oleh Kumpeni dan sebelumnya ditindas oleh raja-raja sendiri. Jadi memang saya memerlukan tahap-tahap pembangunan dan pendidikan jangka panjang Puluhan tahun. Dan kalau saya boleh buka rahasia: saya tidak mau dinilai oleh Tuhan sebagai pemimpin yang tinggal gelanggang colong playu. Pemimpin yang lari dari tanggung jawab sebelum tugasnya mampu dibereskan dengan tuntas.

Tidak. Saya bukan tipe manusia yang pengecut dan betina. Sebelum tanggung jawab bisa saya penuhi sepenuhnya, saya tidak akan lari ke manapun. Saya akan tetap panggul tanggung jawab itu, sebagaimana para rasul dulu loro-lopo memanggul risalah mereka, meskipun disakiti, dilukai, difitnah, dirasani, dan disalahpahami.

Itulah beda antara saya dan kebanyakan pemimpin lain di dunia ini. Mereka pada umumnya melompat dari kursi amanat rakyatnya dan melarikan diri keluar dari balairung tanggungjawab nasionalnya, sebelum tugasnya dituntaskan. Beberapa tahun mereka sudah tak tahan dan angkat tangan.

Lantas turun dari jabatannya dengan meninggalkan problem-problem.
Dan problem-problem itu harus diselesaikan oleh para penggantinya. Para pemimpin baru yang menggantinya, yang tidak ikut menciptakan problem, harus susah payah mengatasinya.

Itu benar-benar suatu kecurangan sejarah.

Dan saya tidak. Sekali saya tegaskan: saya tidak! Saya tidak demikian. Saya bukan pengecut licik dan tengik. Saya, dengan saksi Allah, para malaikat dan segala lelembut -- akan dengan teguh memanggul tanggung jawab ini sampai titik darah penghabisan. Rawe-rawe rantas.
Malang-malang putung.

Tapi ya itu -- susah bener menyuruh rakyat untuk bersatu.

Masyaallah. Tetapi, namanya juga rakyat. Rakyat itu kanak-kanak abadi.

Susah diajak dewasa. Kalau anak kecil itu kemriyek, suka ribut dan suka berebut apa saja. Kalau orang dewasa bisa lebih tenang dan stabil jiwanya. Sungguh saya mendambakan kedewasaan rakyat. Maunya saya, mbok yang tenang-lah. Saya kasih makan apapun, usahakanlah tenang. Kalau saya kasih peraturan-peraturan, atau bahkan pun kalau saya sendiri melanggar peraturan yang saya bikin, berupayalah untuk tetap tenang.

Tujuan saya adalah memang menguji daya ketenangan dalam jiwa mereka.

Kalau saya menggusur, saya sekadar ingin tahu seberapa kadar kesabaran mereka. Kalau saya ambil makanan lebih banyak dibanding jumlah makanan mereka semua, itu wajar, karena saya memang pemimpin. Moso' pemimpin disuruh kelaparan! Kalau saya menentukan siapa Kepala Satgas, siapa Ketua Partai, siapa Pimpinan Organisasi, berapa hektar sawah untuk keluarga saya, dan lain sebagainya -- itu semata-mata untuk mendeteksi takaran sangka baik nasional mereka.
Rakyat saya harus dewasa, harus matang kepribadiannya, tidak gampang bersangka buruk, tidak gampang iri, dengki atau cemburu.

Misalnya sekali waktu, atau di banyak waktu, sengaja saya menerapkan perilaku yang penuh kemunafikan. Itu apa tujuan saya? Tak lain tak bukan adalah untuk mengetahui secara persis seberapa tinggi ketahanan mereka atas hal-hal yang buruk. Kalau saya sebarkan ketidakadilan, umpamanya, saya ingin mengerti seberapa kukuh hati mereka ditimpa oleh nasib buruk yang menyiksa. Sebagai pemimpin saya tidak mau punya rakyat yang cengeng, yang rewel dan sentimentil.
Mereka harus tetap tenang, damai dan bersatu, meskipun ditimpa ketidakadilan dan ketidakbenaran.

Mungkin terpaksa saya akan menuliskan semua filosofi ini dalam buku-buku.

Mungkin akan saya cicil sedikit demi sedikit melalui pidato-pidato, agar rakyat saya terdidik. Mungkin juga saya akan menciptakan semacam reportoar drama, entah monolog entah drama kolosal -- mengenai semua ini -- agar saya berlega hati menyaksikan rakyat saya berproses untuk dewasa dan penuh persatuan dan kesatuan. Kalau tidak, saya akan malu kepada dunia.